Posted by : Unknown
Jumat, 25 April 2014
A. A.
Pengertian Jabariyah
Nama
Jabariyah berasal dari kata Jabbara yang mengandung arti memaksa. Di dalam Al-Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan
mengharuskan melakukan sesuatu1. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama),
setelah ditarik menjadi Jabariyah (dengan menambah ya nisbah) , artinya
adalah suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut, Asy-Syahrastany
menegaskan bahwa paham al-jabr berarti
menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan
menyandarkannya kepada Allah SWT2. Maksudnya manusia tidak mempunyai
hak dalam menentukan kehendak dan kehendak tersebut terikat dan mutlak milik
Allah SWT. Menurut Al-Syahrastani, Jabaraiyah adalah menghilangkan perbuatan
dari hamba dan secara hakikat menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT.
Dalam
bahasa Inggris, Jabariyah disebut dengan istilah fatalism atau predestination.
Semua perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh ketetapan
qada dan qadar yang berlaku3. Jabariyah juga tidak memberi ruang dan
peluang bagi adanya kebebasan manusia untuk berkehendak. Aliran ini menganggap
bahwa semua takdir yang akan dan sedang terjadi mutlak hak Allah SWT.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa aliran Jabariyah menganggap bahwa manusia tidak memilki
kebebasan, kemerdekaan dan hak dalam menentukan kehendak dan perbuatannya,
karena semua itu adalah hak Allah SWT mutlak.
Jabariyah
adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari
seluruh tanggungjawab. Manusia itu disamakan dengan makhluk yang sepi dan bebas
dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Namun
demikian, Jabariyah di bagi menjadi dua yaitu:
1.
Jabariyah Murni atau Ekstrim
Aliran ini disiarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khuraran.
Tetapi yang pertama kali memperkenalkannya adalah Al-Ja’d Ibn Dirham. Jahm
mengatakan bahwa manusia tidak mampu untuk mengikuti takdir-takdir yang
membawanya. Tidak mempunyai daya, kehendak dan pilihan dalam menentukan
kehidupan. Manusia dipaksa dengan tidak ada kekuasaan dalam
perbuatan-perbuatannya seperti wayang yang di kendalikan oleh dalang. Manusia
seperti bulu yang terbang tertiup angin.
Mengikuti takdir yang membawanya. Misalnya kalau seseorang mencuri atau minum
khamr, maka perbuatannya itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, melainkan
ada campur tangan Allah SWT yang menentukan takdirnya4.
1 L. Mal’uf, Al-Munjid fi Al-Lughah wa
Al-‘Alam, Dar Al-Masyriq, Beirut, 1998, hlm. 78.
2 Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Darul Fikr,
Beirut, hlm. 85.Ibid., hlm. 34.
3 Harun Nasution, Teologi Islam:Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, UI Press, Cet. V, Jakarta, 1986, hlm. 31.
4 Menurut Prof.Dr.Harun.Nasution, sebenarnya
orang yag mencetuskan aliran ini adalah Ja’ad bin Dirham, adapun Jaham bin Shafwan yang
menyebarluaskan ajaran tersebut secara gigih.
2. Jabariyah Moderat
Paham Jabariyah moderat dibawa oleh Al-Husain Ibn
Muhammad Al-Najjar. Menurut Najjar, yang menciptakan semua perbuatan-perbuatan
manusia baik jahat maupun perbuatan
baik, tetapi manusia juga memilki andil dalam perwujudan perbuatan-perbuatan
tersebut. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek dalam
mewujudkan perbuatan-perbutan. Dan inilah yang dimaksud dengan kasb atau
acquisition5.
Dalam
paham kasb, manusia tidak majbur (dipaksa oleh Allah SWT). Tidak seperti wayang
yang dikendalikan oleh tangan sang dalang. Dan tidak pula menjadi pencipta
perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Allah SWT6. Menurut aliran ini Allah SWT dan manusia
bekerjasama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Manusia tidak semata-mata
dipaksa dalam melakukan semua perbuatannya.
B.
Sejarah Pertumbuhan Aliran
Jabariyah
Mengenai
asal usul serta akar kemunculan aliran Jabariyah ini tidak lepas dari beberapa
factor. Antara lain:
a)
Faktor Politik
Pendapat Jabariyah diterpakan di masa kerajaan Umayyah
(660-750M). Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya
perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, yang tidak
mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari cara untuk
memperkuat kedudukannya. Disini Muawiyah menerpkan politik licik. Ia ingin
memasukkan ke dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala
Negara dan pemimpin umat Islam adalah berdasarkan pada “qada dan qadar Allah
SWT semata” dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya.
Aliran Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan
(Persia), pada saat aliran Qadariyah muncul yaitu pada kira-kira tahun 70
Hijriyah. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan. Tetapi orang muslim yang
pertama kali memperkenalkan aliran Jabariyah adalah al-Ja’d
bin Dirham, tetapi tidak
begitu berkembang pada waktu itu. Setelah Jahm bin Shafwān mempelajari paham al-Ja’d bin Dirham dan
menyebarluaskannya barulah paham ini berkembang.
5 Ibid., hlm. 34.
6 Ibid., hlm. 35.
Bandingkan dengan Asy-Syahrastani, Al-Milai wa An-Nihal, Darul Fikr, Beirut, hlm. 89.
Jahm yang terdapat pada aliran Jabariyah ini sama
dengan Jahm yang mendirikan golongan al-Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai
Sekretaris dari Syuraih Ibn al-Haris, dimana ia juga turut dalam gerakan
melawan kekuasaaan Bani Umayyah. Sehingga aliran Jabariyah diidentikkan dengan
sebutan Jahmiyyah karena berkembang setelah disebarluaskan oleh Jahm bin
Shafwan. Karena turut andil dalam pergerakan melawan kekuasaaan Bani Umayyah,
Jahm tertangkap dan kemudian dihukum mati pada tahun 131 H7.
Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan
karena itu kaum Jabariyah disebut kaum Jahmiyah.
b)
Faktor Geografis
Masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh aliran
Jabariyah. Kehidupan bangsa Arab pada waktu itu bersifat serba sederhana dan
jauh dari pengetahuan. Ditambah lagi harus hidup ditengah gurun pasir yang
terjal, panas matahari yang bersinar terik serta gunung dan tanah yang gundul
gersang. Keadaan seperti ini berpengaruh besar terhadap cara hidup mereka8.
Dalam keadaan seperti ini, mereka tidak melihat banyak kesempatan dan jalan
untuk dapat mengubah keadaan sekitar agar sesuai dengan keinginan mereka
sendiri. Mereka merasa lemah dan tidak kuasa menghadapi kesukaran dan hambatan
yang terjadi dan timbul akibat hidup di padang pasir. Akhirnya, mereka banyak bergantung
pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalisme9. Oleh
karena itu, saat aliran Qadariyah di ajarkan kepada mereka oleh orang Islam
yang tidak hidup di padang pasir, mereka menganggapnya sebagai ajaran yang
bertentangan dengan ajaran Islam.
Di dalam buku Sarh al-‘Uyūn juga mengatakan bahwa airan Jabariyah berasal dari
kaum Yahudi di Syam. Mereka mengajarkan kepada sebagian orang-orang Islam saat
itu. Setelah mempelajarinya, orang-orang Islam tersebut kemudian
menyebarkannya. Tetapi, hal ini tidak begitu saja menjadikan kaum Yahudi
sebagai pencetus paham Jabariyah, karena
orang Persia sudah lebih dahulu mengenal pemikiran tersebut sebelumnya.
c) Faktor Luar
Selain itu, pengaruh dari luar Islam juga memilki
andil dalam melahirkan aliran ini. Ada teori yang mengatakan bahwa kemunculan
aliran Jabariyah dikaitkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama
Yahudi bermahzab Qurra dan agama Kristen bermahzab Yacobit10.
7 Ahmad Amin, op.cit., 286-287.
8 Ahmad Amin,
Fajr Al-Islam, Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiha Hasan Muhammad wa
Auladihi, Kairo, 1924, hlm. 45.
9 Nasution, loc.cit.
10 Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Rajawali,
Jakarta, 1991, hlm.133.
d) Faktor dari
pemahaman ajaran Islam
Yang
mana pemahaman ajaran-ajaran Islam bersumber dari Al-qur’an yang mempunyai
paham yang mengarah pada aliran Jabariyah.
a.
Artinya:“ Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.“11
b.
Artinya:“ Dan kamu tidak akan mampu (menempuh jalan itu) kecuali bila dikehendaki
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”12
c.
Artinya: “Tiada suatu
bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” 13
d.
Artinya: “Bukanlah
engkau yang melontar ketika engkau melontar (musuh), tetapi Allahlah yang
melontar (mereka).”14
e.
Artinya: “Mereka sebenarnya tidak
akan percaya, sekiranya Allah tidak menghendaki.”15
e) Faktor Sejarah
` Selain dari berbagai factor di atas,
aliran Jabariyah dapat dilihat dari beberapa peristiwa sejarah berikut:
1)
Suatu hari ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang
sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk
mendebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran
tentang ayat-ayat Allah SWT mengenai takdir16.
2)
Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang
yang ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah
menentukan aku mencuri”. Mendengar ucapan itu, khalifah Umar marah sekali dan
menganggap orang itu telah berdusta kepada Allah. Oleh karena itu khalifah Umar
memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri tersebut. Pertama, hukuman potong
tangan. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Allah SWT17.
11 QS Ash-Shaffat/37: 96.
12 QS Al-Insan/76: 30.
13 QS.
Al-Hadid/57: 22.
14 QS Al-Anfat/8: 17.
15 QS Al-An’am/6: 111
16 Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran
dalam Islam, Beunebi Cipta, Jakarta, 1987, hlm. 27-29.
17 Ali Mushthafa Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firaq
Al-Islamiyyah, Kairo, 1958, hlm. 15.
3)
Pada pemerintahan daulah Bani Umayyah, pandangan tentang Jabariyah semakin
mencuat ke permukaaan. Abdullah bin Abbas melalui suratnya memberikan reaksi
melalui surat kepada penduduk Syiria yang diduga berpaham Jabariyah18.
4) Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib ditanya
mengenai qadar Allah SWT dalam kaitannya tentang pahala dan siksaan. Orang tua
itu bertanya, “apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan
qada dan qadar Allah SWT, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian
Khalifah Ali menjelaskan bahwa qada dan qadar Allah bukanlah sebuah paksaaan.
Pahala dan dan sisksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau
itu sebuah paksaaan, amaka tidak ada pahala dan siksaan, gugur pula janji dan
ancaman Allah SWT. Tidak ada pujian bagi orang baik dan tidak ada celaan bagi
orang buruk19.
5) Adanya aliran Jabariyah telah mengemukan ke
permukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh dan berkembang di Syiria20.
6) Rahasia
sikap ini ialah ini adalah riwayat hadits Nabi Saw. Yang
menyebutkan “Kaum Qadariyyah
Majusinya umat ini” yang telah dituduh mengetahui adanya kesamaan antara
kaum Qadariyyah dan penganut Majusi. Sebab, diketahui
bahwa kaum Majusi membatasi takdir Ilahi pada apa
yang mereka namakan “Kebaikan” saja. Sedangkan “Kejahatan” berada
diluar takdir Ilahi, dan bahwa pelakunya adalah wujud setan pertama yang
mereka namakan Ahriman21.
Karena itu, kaum Jabariyyah
mengatakan bahwah yang dimaksud dengan. “Kaum Qadariyyah “ ialah
kalangan yang mengingkari qadar (takdir) Ilahi, sementara
lawan-lawan mereka berkata bahwa kaum Qadariyyah ialah sementara lawan-lawan mereka berkata
bahwa kaum ialah orang–orang yang mengembalikan segala sesuatu,
hatta perbuatan manusia, kepada qadha
dan qadar22.
18 Huwaidhy, Dirasat fi ‘Ilmi
Al-Kalam wa Al-Falsafah Al-Islamiyah, Dar Ats-Tsaqafah, Kairo, 1980, hlm. 80.
19 Ibid.,
hlm. 28.
20 an-Nasyar, Ali Syami, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi
fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1977).
21 luwisnMa’luf Al-Yusu’i, Al-Munjid, al-
Khathulikiyah, Beirut, 1945, hlm.436;lihat juga Hans Werh, a Dictionary of Modern Written Arabic,
wlesbanden,1971,hlm.745.
22 Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah"
(Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah
sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya,
telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga
adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan
dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih.
Terlepas dari perbedaan pendapat
tentang kepastian lahirnya aliran Jabariyah
berikut adalah pendapat atau doktrin Jabariyah:
1.
Qudrat dan Iradat Manusia
Aliran Jabariyah berpendapat bahwa
Kemampuan/daya berbuat atau berkehendak
yang dimiliki oleh manusia adalah Mutlak milik Allah semata, dalam
artian manusia tidaklah mempunyai daya dan kemampuan dalam berbuat.Manusia
hanyalah sebagai fasilitator saja, sedangkan Allah lah yang menggerakkan
perbuatan manusia, manusia hanyalah menjadi objek dari kemampuan dan keinginan
Allah, ibarat manusia adalah laksana wayang yang digerkakan oleh dalang, yang
dalam hal ini Allah lah dalangnya. Diantara nukilan dalil dalam Al-Qur’an
adalah;
QS ash-Shaffat: 96“Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
QS. Al-Qamar : 49 “Sesungguhnya
kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.
2.
Sifat Allah
Pendapat mereka tentang sifat Allah adalah; tidaklah
benar mensifati Allah SWT dengan
sifat-sifat yang terdapat pada makhluk-Nya. Ayat al-Qur'an yang menyebutkan
Allah Maha mendengar, berbicara, melihat dan lain-lain, tidak difahami secara
tekstual tetapi secara kontekstual. mereka juga peniadaan sifat Allah semisal hayyun
(maha hidup), ‘alim (maha mengetahui) dan juga sifat-sifat lainnya yang
menurutnya dapat menimbulkan tashbih (penyerupaan) Allah dengan
makhluk-Nya23.
23 Abu
Sa’d Abdul Kari>m as-Sam’a>ni, al-Milal wa an-Nihal al-Waridah fi
Kitab al-Ansab, (Riyad : Dar al-Watan, 1996) 26-27.
3.
Surga dan Neraka
Surga dan Neraka serta aktifitasnya menurut mereka
tidak kekal, meskipun banyak ayat yang menyatakan kekekalanya, surga dan neraka
adalah ciptaan Allah maka mereka mengganggap semua ciptaan Allah tidak ada yang
kekal, karena jika surga dan neraka kekal maka Allah tidak lagi Absolut
kekekalanNya.
4.
Iman dan Kufur
Iman dan Kufur yang menyertai manusia, adalah sebagai
sarana Allah menunjukkan kekuasaan-Nya. Manusia tidak akan menjadi kafir
meskipun ia ingkar terhadap Allah, dan sebaliknya.
C. Tokoh-tokoh dan Ajaran-ajaran Dasarnya
Menurut Asy-
Syahrastani, Jabariyyah itu dapat dikelompokkan kedalam dua bagian
Yaitu ekstrem (segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang
timbul dari kemauannya, melainkan perbuatan yang dipaksakan atas
dirinya). Misalnya
mencuri, perbuatan mencuri itu bukan terjadi atas kehendak sendiri
melainkan karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian.
Berikut adalah pendapat dan doktrin dari para tokoh
masing-masing aliran Jabariyah ekstrim:
a.
Jahm bin Shafwan
Nama lengkap beliau adalah Abu Mahrus Jaham bin
Shafwan. Ia berasal dari Khurasan dan bertempat tinggal di Kuffah. Ia seorang
dai yang fasih dan lincah (orator). Ia menjabat sebagai sekretaris
Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayah di
Khurasan. Sebagai
seorang penganut dan penyebar aliran Jabariyah, banyak usaha yang dilakukan
Jahm yang tersebar ke berbagai tempat seperti Tirmidz dan Balk. Ia ditawan
kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama tahun 128 H24. Sebagai
seorang penganut dan penyebar faham Jabariyah, banyak usaha yang
dilakukan Jahm yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk.
24 Ahmad Amin, op. cit., hlm. 286-287.
Dia
dianggap sebagai pengikut jabariyyah murni. Pendiri Aliran Jahmiyyah ini tidak menetapkan perbuatan atau kekuasaan
sedikitpun. Seluruh tindakbahan tidak boleh terlepas dari aturan,
skenario dan kehendak Tuhan. Segala akibat baik atau buruk yang
diterima oleh manusia perjalanan hidupnya adalah merupakan
ketentuan dari Allah SWT. Namun ada kecenderungan bahwa Tuhan
lebih memperlihatkan sikapnya yang mutlak /absolut dan berbuat sekehendak-Nya.
Hal inilah bisa menimbulkan kesan seolah-olah Allah tidak adil jika
ia menyiksa orang-orang yang berbuat dosa yang dilakukan orang itu terjadi atas
Tuhan.
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi
adalah sebagai berikut:
i.
Manusia tidak mampu berbuat apa-apa.
Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaaan ini
lebih popular disbanding dengan pendapatnya tentang surga-neraka, konsep iman,
kalam Allah SWT, meniadakan sifat Allah SWT dan melihat Allah SWT di akhirat.
ii.
Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal
selain Allah SWT.
“Mereka (penghuni surga dan neraka) kekal didalamnya
selama ada langit dan bumi, kecuali Allah SWT menghendaki yang lain…”25.
Ayat tersebut mengandung syarat dan pengecualian
kekekalan surge dan neraka. Bagi Jabariyah pahala dan siksaan pun merupakan
paksaan karena didasarkan pada keyakinan bahwa manusia tidak mempunyai daya dan
pilihan lain.
iii. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam
hati.
Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman
yang diajukan oleh kaum murji’ah.
iv.
Kalam Tuhan adalah makhuk.
Allah SWT Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan
dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula dengan
Allah SWT, Dia tidak dapat melihat dengan indera mata di akhirat kelak. Dengan
demikian, dalam beberapa hal pendapat Jahm hampir sama dengan Murji’ah,
Mu’taziah dan Asy’Ariyah.
Dengan demikian, dalam beberapa hal, Jahm berpendapat
serupa dengan Murji’ah, Mu’tazilah dan Asy’ariah sehingga para pengritik dan
sejarawan menyebutnya dengan Al-Murji’I, Al-Mu’tazili dan Al-Asy’ari.
25 QS. Huud/11:
107.
b.
Ja’ad bin Dirham
Adalah seorang Maulana Bani Hakim yang tinggal di
Damaskus. Ia dibesarkan dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan
tentang teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajarkan dilingkungan pemerintah
Bani Umayyah. Tetapi setelah pemikiran-pemikiran kontroversialnya, Bani Umayyah
kemudian memberhentikannya. Kemudian Ja’ad lari ke Kuffah dan disana ia bertemu
dengan Jahm. Disana ia mentransfer pemikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan
dan disebarluaskan. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur Kuffah yaitu Khalid bin
Abdullah El-Qasri.
Doktrin pokok Ja’ad secara umum sama dengan pikiran
Jahm. Al-Ghuraby menjelaskan sebagai berikut26.
i.
Al-qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu dia
baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
ii.
Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhlukNya,
seperti berbicara, melihat dan mendengar.
iii.
Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya27.
iv.
Tidak pernah Allah berbicara kepada Nabi Musa sebagaimana
disebutkan oleh Al-qur’an28.
v.
Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan kesayanganNya seperti dalam
Al-qur’an29.
vi.
Tidak mengakui adanya sebab akibat diantara
segala sesuatu terutama manusia dan perbuatanya serta kepribadiannya secara
spiritual dan moral. Entah masa depannya bahagia atau sengsara.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrem,
Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik
perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di
dalamnya. Tenaga yang
diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.
Inilah yang dimaksud dengan kasab(acquisition)30. Menurut paham kasab, manusia tidak majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang terkendali
di tangan dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh
perbuatan yang diciptakan Tuhan31.
26 Al-Ghurabi,
op. cit., 28-29.
27 Rosihan Anwar, Ilmu Kalam., h. 68.
28 QS An-Nisa/4:164.
29 QS Surat An-Nisa/4:125.
30 Nasution, op. cit., hlm. 35.
31 Harun Nasution, Ensiklopedi Islam
Indonesia, Djambatan, Jakarta,1992, hlm. 522.
Tokoh
yang termasuk dalam Jabariyah moderat adalah sebagai berikut:
c.
An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar
(wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najariyyah atau Al-Husainiyah. Ia termasuk
tokoh Mu’tazilah yang paling banyak menggunakan ratio yakni
menetapkan adanya Qudrat pada manusia tetapi Qudrat tersebut tidak mempunyai
efek atas perbuatan.
An-Najjar
juga berkata : Tuhan hanya berkehendak dengan zat-Nya, Juga Tuhan
mengetahui dengan zat-Nya . karena itu taalluqnya menyeluruh Allah menghendaki
baik dan buruk bermanfaat dan mudharat. Dan katanya Yang
dimaksud Allah berkehendak disini bahwah Alla tidak tidak dipaksa dan
tidak terpaksa. Katanya : Allah menciptakan semua baik dan
buruk dan manusia hanya merencana. Dia pun mengakui adanya
Kasab(usaha) pada manusia, seperti pendapat Al-Asy’ari sependapat
tentang istitithah.
Diantara pendapat-pendapatnya adalah sebagai berikut:
i.
Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi
manusia mengambil bagian atau peranan dalam perwujudan perbuatan-perbuatan
tersebut. Itulah yang disebut kasb dalam
teori Al-Asy’ry32.
Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najjar
tidak lagi seperti wayang yang gerakannya bergantung pada dalang. Sebab, tenaga
yang diciptakan Tuhan dalam manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
ii.
Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat, akan tetapi ia
menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan posisi hati (ma’rifat) pada mata
sehingga manusia dapat melihat Tuhan33.
d.
Adh-Dhiar
Bernama lengkap Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang
perbuatan manusia sama dengan An-Najjar, sehingga ia tergolong kaum Jabariyah
moderat. Menurutnya manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan
dalang. Manusia mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatannya dan tidak
semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya34.
32 Asy-Syahrastani, op. cit.,
hlm. 89.
33 Ibid.
34 Nasution, Teologi …, hlm. 35.
Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan
dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia
tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusianya, Manusia turut
andil berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Pendapat-pendapatnya adalah sebagai berikut:
i.
Satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku
secara bersamaan. Artinya, perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Allah
semata, tetapi juga oleh manusia itu sendiri turut berperan35.
ii.
Allah SWT dapat dilihat di akhirat melalui indera
keenam.
iii.
Hujjah yang dapat diterima setelah Nabi Muhammad wafat
adalah ijtihad. Hadist Ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum36.
Setelah
mengetahui beberapa definisi, pendapat dan tokoh dalam Aliran Jabariyah,
berikut adalah ciri-ciri dari aliran Jabariyah agar kita bisa lebih memahami:
·
Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar
apapun, setiap perbuatan baik ataupun buruk semata Allah yang menentukan.
·
Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum
terjadi.
·
Ilmu Allah bersifat Hudust (baru).
·
Iman cukup di dalam hati saja tanpa harus di
lafadhkan.
·
Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan
ciptaanNya.
·
Bahwa surga dan neraka adalah tidak kekal. Dan akan
hancur bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah SWT.
·
Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk
surga.
·
Bahwa Al-qur’an adalah makhluk dan bukan kalamullah.
35 Asy-Syahrastani, loc. cit.
36 Ibid.
D. Pandangan Umat Islam
terhadap Aliran Jabariyah
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia baik yang terpuji maupun yang
tercela, pada hakikatnya bukanlah hasil pekerjaannya sendiri, melainkan
hanyalah termasuk ciptaan Tuhan, yang dilaksanakannya melalui tangan manusia.
Dengan demikian, maka manusia itu tiada mempunyai perbuatan dan tidak pula
mempunyai kodrat untuk berbuat sesuatu. Oleh karena itu, orang mukmin tidak
akan menjadi kafir karena dosa-dosa besar yang dilakukannya37.
Terlepas
dari ada atau tidaknya kondisi seperti yang demikian, Al-qur’an sendiri banyak
memuat ayat-ayat yang menjadi cikal-bakal timbulnya paham Jabariyah, seperti
dalam QS. Al-Shuffat ayat 96, Al-An’am ayat 112, Al-Anfal ayat 17 dan ayat-ayat
lainnya.
Hal
inilah yang menjadi landasan yang kuat untuk paham Jabariyah dalam Islam. Mereka
yang meyakini paham ini akhirnya mengembangkannya sejalan dengan perkembangan
masyarakat pada saat itu. Sebagaimana diketahui, Jahm bin Shafwan
memperkenalkan paham ini pertama kali yang dilanjutkan oleh Ja’d bin Dirham.
Dikalangan
paham Jabariyah sendiri muncul pandangan menarik yang mengatakan bahwa, tidak
semua perbuatan manusia bergantung kepada Tuhan secara mutlak. Pendapat ini
dikemukakan oleh Adh-Dhirar dan Al-Najjar yang dikenal sebagai tokoh Jabariyah
moderat. Menurut mereka, Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, baik
perbuatan itu positif maupun negarif.
Kedudukan
manusia dalam paham Jabariyah adalah sangat lemah, tak berdaya, terikat dengan
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas
sebagaimana dimiliki oleh paham Qadariyah.
Sekiranya
manusia
Jika
manusia menciptakan segala perbuatannya dengan ikhtiarnya, tentunya ia akan
mengetahui secara rinci dari perbuatan-perbuatannya itu. Jika melangkahkan
kaki, ia akan mengetahui apa yang akan terjadi setelah melangkah, mengapa
kakinya bergerak dan sebagainya. Akan tetapi, manusia tidak mengetahui secara
rinci mengapa itu terjadi. Dengan demikian, tidaklah manusia dikatakan mukhtar
dalam perbuatannya. Segala perbuatan hanya dinisbatkan atau disandarkan kepada
yang melaksanakan bukan yang menciptakannya.
37 Syalabi, 2003: 297
Jika dianggap manusia adalah
pelaku yang mempunyai daya pilih mengenai apa yang disukai atau tidak, tentulah
ilmunya meliputi segala perincian apa yang dibuatnya. Allah SWT berfirman:
“Apakah Allah yang menciptakan
itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan)”..38.
Maka kalau manusia menciptakan
segala perbuatannya dengan ikhtiarnya, tentulah dia mengetahui perincian dari
perbuatan-perbuatannya itu. Apabila dia melangkah, dia mengetahui apa yang akan
terjadi setelah langkahnya itu?. Dan dia mengetahui mengapa kakinya bergerak?,
dan seterusnya. Akan tetapi, manusia tidak mengetahui perincian itu. Kalau
demikian, tidaklah manusia dikatakan mukhtar dalam perbuatannya. Segala
perbuatan hanya dinisbatkan atau disandarkan kepada yang melaksanakan bukan
kepada yang menciptakan. Sesungguhnya Allah SWT menciptakan warna dan Allah SWT
sendiri tidak bersifst dengan warna-warna itu. Yang bersifat dengan warna
adalah tempat warnanya. Masalah taklif, pahala dan siksa, tidaklah tunduk
kepada aturan-aturan yang dianalogikan sebagai perbuatan-perbuatan kita.
Aturan-aturan itu berada di atas pengertian kita dan Allah SWT tidak ditanyakan
tentang perbuatan-Nya.
Jika ditarik
dalam konteks kekinian, nampaknya teori kasb inilah memunculkan istilah ikhtiar
(berusaha) dan tawakal (berserah diri). Manusia dapat berikhtiar semampunya
untuk mendapatkan atau untuk melakukan sesuatu hal, namun manusia harus
menyandarkan hasilnya kepada Allah SWT karena Allah-lah yang menentukan hasil
dari segala perbuatan yang telah kita lakukan.
Hal
ini menjadi keyakinan umum bagi umat Islam. Walaupun pada kenyataannya banyak
umat Islam yang tidak bisa menerima begitu saja hasil kerja keras mereka yang
tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Itulah yang sering kali menjadi
penyebab munculnya stress pada manusia.
Contoh
dari penerapan ikhtiar dan tawakal adalah salah satunya sebagai berikut:
Ada
dua laki-laki yang sama-sama memiliki penyakit jantung dan sama-sama berumur 59
tahun. Laki-laki pertama bernama Joko dan yang kedua bernama Slamet. Keduanya
juga memiliki latar belakang yang berbeda. Joko adalah seorang yang terbilang
kaya, sedangkan Slamet dikategorikan sebagai seorang yang miskin.
Disaat
yang sama, penyakit jantung yang mereka derita kambuh. Keluarga mereka segera
melarikan mereka ke rumah sakit untuk mendapat pengobatan lebih lanjut. Karena
kaya, Joko dirawat di rumah sakit mewah dengan fasilitas rumah sakit yang
lengkap sedangkan Slamet hanya dirawat di rumah sakit kecil yang jauh dari
segala fasilitas yang memadai.
Namun,
yang terjadi adalah Joko yang dirawat di rumah sakit mewah, berkelas dengan
fasilitas lengkap malah akhirnya harus menghembuskan nafas terakhirnya.
Sedangkan Slamet yang dirawat hanya di rumah sakit yang biasa dan serba
terbatas malah selamat dari ancaman malaikat maut.
38 QS al-Mulk (67): 14
Jika
kita pikirkan secara rasional, pastilah banyak di antara kita yang berpikir
bahwa yang akan selamat dari serangan jantung adalah Joko yang notabene dirawat
di rumah sakit yang mewah dan memadai. Namun, manusia hanya bisa berusaha
sekuat tenaga dan kemampuan, tetapi Allah SWT jualah yang menentukan bagaimana
hasilnya.
Selain
memunculkan konsep ikhtiar dan tawakkal, teori kasb juga memunculkan term
“InsyaAllah” yang berarti jika Allah menghendaki. Biasanya term “InsyaAllah”
sering diucapkan umat Islam ketika membuat sebuah janji. Memang masuk akal
ketika kita membuat janji, misal janji mendatangi suatu acara dengan mengatakan
InsyaAllah, karena kita tidak tahu apakah kita bisa memenuhi undangan tersebut
atau tidak. Namun melihat kondisi sekarang, term InsyaAllah banyak dijadikan
sebagai tameng dan mencari aman apabila tidak bia memenuhi undangan tersebut.
Tentu saja ini mengundang kekecewaan dari orang yang diberi janji.
E. Analisis
tentang Aliran Jabariyah
Penjelasan yang tidak
sedikit mengenai aliran Jabariyah diatas, memunculkan ide untuk membicarakannya
lebih dalam. Hal pertama yang menjadi fokus utama pembicaraan adalah mengenai
ikhtiqad Jabariyah tentang penyerahan secara total Qada dan Qadar kepada Allah
SWT. Apakah ada keburukan orang yang berpegang kepada ikhtiqad Jabariyah?.
Secara tidak langsung, dalam ikhtiqad ini mereka
telah menuduh Allah SWT. Tanpa sadar mereka telah menuduh Allah, seolah-olah
Dia itu jahat dan dzalim kepada umat-Nya. Umpamanya, ada seseorang yang miskin
dan dia mengikhtiqkan bahwa manusia tidak ada usaha dan ikhtiar, karena miskin
itu sudah ditentukan kepada dirinya oleh Qada dan Qadar Allah SWT dan manusia
terpaksa tunduk saja kepada kekuasaan-Nya, maka seolah-olah dia telah menuduh
bahwa Allah-lah yang telah memiskinkannya atau menyusahkannya.
Hal inilah yang membuat kebanyakan manusia yang
tidak mau berusaha dan hanya menyandarkan kepada ketentuan yang telah
ditentukan oleh Allah SWT. Contohnya, saat kita menanyakan kepada seorang
miskin yang ditimpa kemiskinan tentang mengapa dia miskin. Kebanyakan akan
menjawab,”Apa boleh buat, sudah takdir Allah.” Ini artinya, dia sudah menuduh
Allah memiskinkan dirinya. Semua manusia telah terjebak dalam aliran Jabariyah
dan tak jarang diantara mereka sudah mempelajari ikhtiqad Ahli Sunnah Wal
Jamaah. Tetapi, jika ditinjau dari perkataan yang dia ucapkan, telah
menunjukkan seolah-olah tidak ada pilihan untuk dirinya. Artinya, apa yang
telah menimpa dirinya merupakan apa yang telah ditentukan Allah SWT.
Akan tetapi, dari analisis diatas, bahwa mempercayai
takdir tidak identik dengan mempercayai aliran Jabariyah. Semua akan menjadi
demikian, apabilah kita tidak memberikan peranan sedikitpun dalam menciptakan
perbuatannya sendiri, yakni dengan menyerahkannya bulat-bulat kepada takdir.
Padahal tidak bisa diterima apabila kita mengatakan bahwa Allah SWT melakukan
segala sesuatu tanpa perantaraan.
Qada dan Qadar tidak memiliki arti lain kecuali
terbinanya sistem sebab-akibat umum atas dasar pengetahuan dan kehendak Ilahi.
Diantara konsekuensi penerimaan teori kausal dan kemestian terjadinya akibat
pada saat adanya penyebab, serta keaslian hubungan antara keduanya, ialah bahwa
kita harus mengatakan bahwa nasib setiap yang telah terjadi berkaitan dengan
sebab-sebab yang mendahuluinya. Dari makna ini, kita berani mengatakan bahwa
ucapan yang menyebutkan bahwa ucapan yang menyebutkan bahwa kepercayaan
Jabariyah berasal dari kepercayaan
kepada Qada dan Qadar Ilahi, sungguh merupakan merupakan kebodohan. Oleh
sebab itu, wajiblah kita menyanggah kepercayaan seperti ini agar terlepas dari
kesimpulan tersebut.
Pandangan sekilas tentang indikasi-indikasi aliran
Jabariyah, merupakan refleksi dari kehidupan manusia yang secara langsung
maupun tidak, sengaja atau tidak berpulang kepada tawakal atau kepasrahan
kepada Tuhannya. Hal ini menimbulkan ketenangan tersendiri setelah adanya usaha
atau[un ikhtiar yang dilakukan oleh seorang hamba.
F.
Penolakan terhadap Aliran Jabariyah
Meskipun banyak yang mengikuti dan
mendukung paham aliran ini, tetapi banyak juga yang melakukan penolakan atas
pemikiran-pemikiran yang telah dilontarkan oleh para tokohnya. Kelompok
Jabariyah adalah orang-orang yang melampai batas dalam menetapkan takdir hingga
mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaaan manusia dan mengingkari bahwa
manusia dapat melakukan usaha. Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan
terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala sesuatu dan
tidak memiliki kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan bahkan seperti bulu
yang ditiup angin. Maka dari
itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika mereka
melakukan perbuatan yang melanggar syariat, mereka merasa tidak
bertanggungjawab atasnya dan kembali berhujjah pada takdir.
Akidah yang rusak semacam ini membawa penolakan
terhadap kemampuan manusia dalam melakukan perbaikan. Dan penyerahan total pada
syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus ke lubang dosa dan kemaksiatan
karena menganggap semua itu sudah menjadi takdir yang digariskan Allah SWT.
Maka mereka menyenangi dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala sesuatu yang
telah ditakdirkan akan menimpanya, maka tidak akan ada usaha untuk mengubah
takdir itu. Keyakinan inilah yang menyebabkan banyak dari mereka yang
meninggalkan amal shalih dan berusaha menyelamatkan diri dari azab Allah SWT
seperti shalat, zakat, puasa dan berdoa. Menurut keyakinan mereka, itu semua
tidak ada gunanya karena sudah ditakdirkan, sehingga doa dan usaha tidak
berguna baginya. Kemudian mereka juga mulai meninggalkan amar ma’ruf dan ketetapan hukum. Karena mereka yakin semua
kejahatan sudah ditakdirkan. Mereka menerima kedzaliman dan kerusakan yang
dilakukan orang-orang disekitarnya.
Para ahlu sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan
orang-orang sesat itu dengan pembatalan terhadap pendapat mereka. Menjelaskan
bahwa keimanan pada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia
mempunyai keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk
melaksanakannya. Hal ini pun juga ditujukan dengan dalil-dalil baik syariat
maupun akal.
i.
Dalil-dalil Al-qur’an
Allah
SWT berfirman “Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barang siapa yang
menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali pada Tuhan-Nya”39.
Firman
Allah SWT : ”Istri-istrimu adalah seperti tanah tempah kamu bercocok tanam,
maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu sebagaimana saja kamu
kehendaki”40. Dari kedua ayat diatas, dapat disimpulkan bahwa Allah
SWT memberikan kebebasan kepada manusia untuk menempuh jalan yang dapat
mengantarkannya menuju keridhaan-Nya serta untuk mendatangi istri-istri mereka
pada tempat yang ditetapkan sekehendak mereka.
ii.
Dalil-dalil As-Sunnah
Rasulullah
SAW bersabda, “Setiap orang diantara kalian telah ditetapkan tempat duduknya di
surga atau neraka” lalu mereka bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa kita tidak
bersandar kepada kitab kita dan meninggalkan usaha?”. Beliau menjawab,
“Berusahalah karena semua itu akan memudahkan untuk menuju apa yang telah
ditakdirkan kepadanya” 41.
39 QS An-Naba
29
40 QS Al-Baqarah 223
41 HR Bukhari dan Muslim
iii.
Dalil-dalil dari Akal
Setiap orang tahu bahwa dirinya mempunyai kehendak dan
kemampuan untuk mengerjaka keduanya sesuai dengan keinginannya dan meninggalkan
apa yang diinginkannya. Dia bisa membedakan sesuatu yang terjadi karena
keinginannya. “Yaitu bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang
lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah Tuhan Semesta Alam”42. Ayat tersebut menegaskan
bahwa manusia mempunyai kehendak yang masuk dalam kehendak Allah SWT.
Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang yang berkata
yang berkata bahwa Allah SWT memaksa manusia ataus semua perbuatan mereka.
Beliau menjawab, “Kita tidak berpendapat demikian dan kami mengingkarinya.”
Beliau berkata, “Allah menyesatkan siapa yang berkehendak dan memberikan
petunjuk kepada siapa yang berkehendak..” Lalu datanglah kepadanya seorang
lelaki seraya berkata,”Allah memaksa manusia unutk taat.” Beliau menjawab,
“Alangkah buruknya apa yang dikatakannya.”
42 QS. At-Takwir 28-29