Posted by : Unknown Sabtu, 09 Agustus 2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebenaran dalam filsafat adalah lawan dari kekhilafan, kekeliruan, atau khayalan. Kebenaran adalah soal hubungan antara pengetahuan dan apa yang menjadi objeknya, konsep kebenaran epistemologi terkait erat dengan sebuah pernyataan, kebenaran adalah bersifat semantik, sehingga kebenaran itu ada pada proposisi, bukan pada sintaksis.
Perbedaan landasan ontologik menyebabkan perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara yang benar dan yang dipercaya. Pengetahuan diperoleh dari akal sehat, yaitu melalui pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadik dan kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan, pengetahuan yang demikian cenderung bersifat tidak jelas dan karenanya merupakan pengetahuan yang tidak teruji.
Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Untuk memperoleh ilmu pengetahauan, dibutuhkan adanya metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoretis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Ilmu, menyusun pengetahuan dengan konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris, ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak, sehingga melalui metode ilmiah, berbagai penjelasan teoretis dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak.
Kebenaran pengetahuan yang dilihat dari kesesuaian antara fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia. Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan, maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun pengetahuan tersebuat harus benar.
Apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini karena apa yang kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan, itulah sebabnya pengetahuan selalu tunbuh dan berkembang. Untuk dapat membuktikan suatu pengetahuan bernilai benar, maka seseorang harus menganalisis terlebih dahulu sikap, cara dan sarana yang digunakan dalam rangka membangun suatu pengetahuan. Seseorang yang memperoleh pengetahuan melalui pngalaman indera tentu akan berbeda cara pembuktiannya dengan seseorang yang bertitik tumpu pada akan atau rasio, intuisi, otoritas, keyakinan dan atau wahyu. Pada umumnya, orang yang memperoleh pengetahuan bukan melalui pengalaman inderan biasanya diawali oleh keraguan dan ketidakpercayaan terhadap segala sesuatu sehingga semua harus diragukan, seperti yang dilakukan oleh faham skeptisme yang ekstrem di bawah pengaruh Pyrrho.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kebenaran?
2. Apa sajakah sifat-sifat kebenaran itu?
3. Bagaimana kebenaran dan tingkatannya?
4. Apa yang dimaksud dengan rasionalisme dan empirisme?
5. Apa saja teori kebenaran itu?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi tentang kebenaran.
2. Untuk mengetahui berbagi sifat dari kebenaran.
3. Untuk mengetahui berbagai kebenaran dan tingkatannya
4. Untuk mengetahui tentang rasionalisme dan empirisme.
5. Untuk menjelaskan berbagai teori tentang kebenaran.


1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari tugas ini ada dua hal yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis yang diharapkan adalah memperkaya kajian ilmu tentang pengantar filsafat ilmu terutama mengenai teori kebenaran. Secara manfaat praktis adalah unutk membagi pemahaman kepada pembaca tentang teori kebenaran.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kebenaran
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadarminta ditemukan arti kebenaran, yakni:
a.              Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya).
b.             Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya).
c.              Kejujuran atau kelurusan hati.
d.             Selalu izin; perkenanan.
Sedangkan kebenaran pengetahuan dapat diartikan sebagai persesuaian antara pengetahuan dengan objeknya. Yang terpenting untuk diketahui adalah bahwa persesuaian yang dimaksud sebagai kebenaran adalah merupakan pengertian kebenaran yang immanen yakni kebenaran yang tetap tingal didalam jiwa dalam kata lain adalah keyakinan. 
Menurut Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya Ilmu, Filsafat dan Agama menulis bahwa agama dapat diibaratkan sebagi suatu gedung besar perpustakaan kebenaran.
Di dalam pembicaraan mengenai "kepercayaan" dapat disimpulkan bahwa sumber kebenaran adalah Tuhan. Manusia tidak dapat hidup dengan benar hanya dengan kebenaran- kebnaran pengetahuan, ilmu dan filsafat, tanpa kebenaran agama.  

2.2 Sifat-sifat Kebenaran
Menurut Abbas Hamami Mintaredja (1983) kata ‘kebenaran’ dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak. Jika subjek hendak menuturkan kebenaran artinya proposisi yang benar. Proposisi maksudnya makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Hal yang demikian karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan dan nilai itu sendiri.
Berbagai kebenaran dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (1996) dibedakan menjadi tiga hal, yakni sebagai berikut:
Kebenaran yang pertama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui suatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya pengetahuan itu meliputi: pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan agama.
Kebenaran pengetahuan yang kedua berkaitan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah membangunnya dengan penginderaan atau akal pikirnya, atau rasio, intuisi, atau keyakinan.
Kebenaran pengetahuan yang ketiga adalah nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antar subjek dan objek, manakah yang lebih dominan untuk membangun pengetahuan, subjekkah atau objek.[1]  

2.3 Kebenaran dan Tingkatannya
Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i dalam Mawardi). Poedjawiyatna (dikutip oleh Mawardi) mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
1.             Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia.
2.             Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indera, diolah pula dengan rasio.
3.             Tingkatan filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya.
4.             Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
Keempat tingkat kebenaran ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarana itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indera.
Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah suatu nilai utama di dalam kehidupan manusia sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya .


2.4 Rasionalisme dan Empirisme
                Yang dimaksud kebenaran ilmiah adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Adapun kebenaran yang pasti adalah mengenai suatu objek materi, yang diperoleh menurut objek forma, metode dan sistem tertentu. Karena itu, kebenaran ilmiah cenderung bersifat objektif, tidak subjektif. Artinya, terkandung di dalamnya sejumlah pengetahuan menurut sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian. Dengan demikian, dapat dipastikan ia akan tahan terhadap verifikasi baik yang empirik maupun yang rasional. Hal ini wajar, karena sudut pandang, metode dan sistem yang dipakai juga bersumber dari pengalaman maupun akal pikiran.
                Dalam epistemologi, masalah kebenaran dibahas secara khusus. Adanya kebenaran akan selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia (subjek yang mengetahui) mengenai objek. Jadi, kebenaran itu ada pada sejauh mana subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan pengetahuan berasal mula dari banyak sumber. Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran.
                Dari sekian banyak sumber, ‘rasio’ dan ‘pengalaman indriawi’ merupakan sebagai sumber utama sekaligus sebagai ukuran kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Sumber rasio lebih bersangkutan dengan objek-objek umum, abstrak dan non-fisis, sedangkan sumber pengalaman lebih bersangkutan dengan objek-objek khusus, konkret dan fisis. Kedua sumber itu di dalam filsafat dikenal dengan ‘rasionalisme’ dan ‘empirisme’.
                Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650), filosof dari Perancis. Dengan sikap keragu-raguannya terhadap segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri, ia mencoba mencari kebenaran yang jelas, tegas dan pasti, dan kebenaran itu ada pada ide yang disebut idea innate (ide bawaan, terang benderang), yang hanya dapat ditangkap oleh akal-pikiran. Dengan kegiatan berpikir inilah Descartes menemukan sesuatu yang pasti, jelas dan tegas yaitu keberadaan diri sendiri. Hal itu terkenal dengan ungkapannya ‘cogito ergo sum’, yang dalam bahasa Inggris diartikan sebagai ‘I think therefore I am’ (saya berpikir, maka saya ada). Pada prinsip dasar yang demikian inilah dia berpikiran bahwa semua kebenaran dapat dikenal karena adanya kejelasan dan kepastian yang dihasilkan oleh kemampuan berpikir itu sendiri. Jadi apapun yang dapat digambarkan secara jelas, tegas dan pasti oleh pikiran adalah benar. Karena itulah ia berpendapat bahwa segala sesuatu yang disaksikan oleh pengalaman indriawi mengandung kesesatan.
                Empirisme dipelopori oleh John Locke (1632-1704), salah seorang pengagum Descartes dari Inggris. Teteapi, ia tidak menyetujui pendapatnya. Menurut Locke, pada mulanya rasio manusia itu bagaikan ‘tabula rasa’ (as a white paper), seperti kertas atau lilin putih bersih dan licin. Adapun seluruh isinya yang kemudian membentuk ide itu berasal dari pengalaman indriawi. Pancaindera menangkap data-data dan lalu tergambar di dalam rasio. Semakin aktif penginderaan, maka semakin banyak data yang tergambar sehingga menjadi suatu ide yang rumit, detail dan jelas. Dikatakan selanjutnya bahwa ada dua macam jenis pengalaman, yaitu pengalaman lahir atau sensation dan pengalaman batin atau reflection. Kedua sumber pengalaman ini menghasilkan ide-ide tunggal atau simple ideas (Rasionalisme dan Empirisme, lihat K. Bertens: 1976).
                  Jika disimpulkan dan dievaluasi, sebenarnya kedua sumber kebenaran itu mengandung kelemahan-kelemahan. Sumber rasio, sering tidak cocok dengan keadaaan konkret dan praktis. Maksudnya banyak hal yang rasional, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan konkret. Ide itu sendiri adalah bukan benda objektif, dan ternyata ide itu mengalami perubahan. Kemampuan pikiran dalam mengideakan objek, sering terjebak ke dalam analogi yang tidak realistic. Begitu pula sumber pengalaman, karena sifatnya yang terlalu subjektif dan relatif, maka lemah untuk dipakai sebagai dasar kebenaran. Lebih dari itu, banyak pengalaman indera yang menyesatkan karena keterbatasan kemampuan pancaindera dalam memahami objek. Penginderaan hanya mampu menangkap bagian tertentu dari objek, sehingga mudah terjebak pada ‘generalisasi’.
                Dari sumber-sumber tersebut dapat dipahami bahwa kiranya posisi kebenaran itu lebih pada pihak subjek yang mengetahui daripada objek yang diketahui. Hal itu menunjukkan bahwa kebenaran lebih banyak bergantung pada objek, dalam arti kemampuan rasio untuk mengideakan objek dan kemampuan indera dalam memahami objek. Sedangkan realitas objek sebagaimana adanya tidak seluruhnya dapat dipahami oleh kedua potensi tersebut baik rasio maupun penginderaan. Jadi, kebenaran keilmuan, berdasarkan kemampuan rasio dan penginderaan, sebenarnya barulah merupakan sebagian kejelasan dari suatu objek. Rasio yang hanya bisa mengetahui ide suatu objek berarti hanya merupakan gambaran umumnya saja. Sedangkan penginderaan hanya bisa mengenal bagian-bagian dari objek itu saja. Oleh sebab itu, dalam konteks ilmu pengetahuan, kiranya baik potensi rasio maupun pengalaman indera perlu difungsikan secara dialektik-fungsional, saling lengkap-melengkapi dan saling uji-menguji sehingga kebenaran yang dicapai bisa diandalkan. Dengan demikian, teori kebenaran kiranya memang cocok untuk dipakai sebagai landasan dasar pengukuran kebenaran ilmiah. [2]
2.5 Teori Kebenaran
Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan tentang kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles. Plato melalui metode dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak itulah teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan penyempurnaan sampai kini.
Untuk mengetahui apakah pengetahuan kita mempunyai nilai kebenaran atau tidak. Hal ini berhubungan erat dengan sikap, bagaimana cara memperoleh pengetahuan? Apakah hanya kegiatan dan kemampuan akal pikir ataukah melalui kegiatan indera? Yang jelas, bagi seorang skeptik pengetahuan tidaklah mempunyai nilai kebenaran, karena semua diragukan atau keraguan itulah yang merupakan kebenaran.


Secara tradisional, teori-teori kebenaran itu antara lain sebagai berikut:
1.        Teori Kebenaran Saling Berhubungan (Coherence Theory of Truth)
Teori Koherensi dibangun oleh para pemikir rationalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Element of Philosophy teori koherensi dijelaskan “… suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita”.
Dengan memperhatikan pendapat Kattsoff tersebut, dapat diungkapkan bahwa suatu proposisi itu benar bila mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang telah ada atau benar. Pembuktian teori kebenaran koherensi dapat melalui fakta sejarah apabila merupakan proposisi sejarah atau memakai logika apabila merupakan pernyataan yang bersifat logis.
Sebagai contoh, kita mempunyai pengetahuan bahwa runtuhnya kerajaan Majapahit adalah tahun 1478. Dalam hal ini kta tidak dapat membuktikan secara langsung dari isi pengetahuan itu, melainkan hanya bisa membuktikan melalui hubungan dengan proposisi terdahulu, baik dalam buku-buku sejarah atau peninggalan sejarah yang mengungkapkan kejadian itu. [3]
Teori Koherensi sering disebut juga teori konsistensi, karena menyatakan bahwa kebenaran itu tergantung pada adanya saling hubungan di antara ide-ide secara tepat, yaitu ide-ide yang sebelumnya telah diterima sebagai kebenaran. Bradley (Soetriono dan SRDm Rita Hanafie, 2007) mengatakan, bahwa suatu proposisi itu cenderung benar dan koheren dengan proposisi benar yang lain, atau jika arti yang dikandungnya itu koheren dengan pengalaman. Kaum idealis menandaskan bahwa kebenaran tentu merupakan sifat yang dimiliki oleh ide kita, karena semua hal yang kita ketahui itu adalah ide-ide, bukan barang atau halnya sendiri. Oleh sebab itu kebenaran terletak pada saling berhubungan di antara ide-ide tentang sesuatu yang ditangkap di alam pikiran. Tingkat saling hubungan adalah ukuran bagi tingkat kebenaran itu sendiri. Semakin terdapat saling hubungan di antara ide-ide yang makin meluas maka akan menunjukkan kesahihan kebenaran yang semakin jelas pula. Dalam dunia pengadilan, misalnya, semakin kuat saling hubungan antara seluruh kesaksian, maka semakin kuat pula adanya kebenaran itu. Menghadapi teori koherensi ini, orang mudah untuk menerimanya begitu saja karena memang logis dan dapat diterima oleh akal sehat serta tidak bertentangan. Namun demikian saling hubungan di antara ide-ide itu secara logis bisa saja palsu. Maka perlu kita sangsikan kemampuan implikasi fakta itu sendiri? Lebih dari itu, teori ini menekankan pada sifat rasional dan intelektual. Padahal realitas itu ada dalam dirinya sendiri yang juga mempunyai sifat irrasional. [4]
Selain itu teori konsistensi menurut John S. Brubacher dalam bukunya Modern Philosophies of Education mengemukakan bahwa kebenaran ialah ketetapsamaan kesan antar-subjek terhadap objek yang sama. Seberapa jauh konsistensi terhadap tanggapan subjek yang satu dengan subjek yang lain, menentukan validitas dari kebenaran yang tertangkap. Menurut teori ini, tidaklah cukup menjamin bahwa hubungan subjek-subjek disebut kebenaran, meningkat watak setiap subjek yang selalu cenderung ke arah subjektivitas. [5]
Teori Konsistensi mengandalkan kebenaran pada kesepakatan antar subjek terhadap objek yang sama. Meskipun teori ini berusaha menghindari untuk tidak terjerumus pada kelemahan-kelemahan korespondensi, namun teori ini tidak bisa mengelak pada kenyataan bahwa kesepakatan bisa saja menghasilkan sesuatu yang bahkan bukan benar. “Mengeroyok” apa pun dalihnya, jelas merupakan kesepakatan yang tidak benar = kesepakatan yang melawan hukum. Begitu pula “menghukum beramai-ramai” adalah serupa dalam pengeroyokan dalam hal adanya kesepakatan bersama. Hanya saja menghukum beramai-ramai, mengandung implikasi kebenaran (moral) yang disalahgunakan. [6]
2.        Teori Kebenaran Saling Berkesesuaian (Correspondence Theory of Truth)
Teori kbenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal dan paling tua. Teori tersebut berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles yang menyatakan segala sesuatu yang diketahui adalah suatu yang dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subjek. (Abbas Hamami, 1996, hlm. 116)
Teori ini berpandangan bahwa suatu propoisi bernilai benar apabila saling berkesesuaian dengan dunia kenyataan. Kebenaran demikian dapat dibuktikan secara langsung pada dunia kenyataan. Misalnya pengetahuan ‘air akan menguap jika dipanasi sampai dengan 100 derajat’. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau kemudian dicoba memanasi air dan diukur sampai seratus derajat, apakah air menguap! Jika terbukti tidak menguap maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah, dan jika terbukti air menguap, maka pengetahuan tersebut dinyatakan benar. [7]
Kalau teori koherensi diterima oleh kebanyakan kaum idealis, maka teori korespondensi lebih bisa diterima oleh kaum realis. Teori korespondensi ini mengatakan bahwa seluruh pendapat mengenai suatu fakta itu benar jika pendapat itu sendiri disebut fakta yang dimaksud. Dengan kata lain, kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dengan fakta itu sendiri. Terhadap suatu pendapat yang menyatakan bahwa ‘di luar hawanya dingin’ misalnya, maka teori ini menuntut adanya fakta bahwa dingin itu benar adanya atau nyata berada di luar, bukan hanya ide tentang hawa dingin itu saja. Kalau teori koherensi bersifat rasional-aprioris, maka teori korespondensi ini bersifat empiris-aporterioris. Kalau teori koherensi menekankan adanya saling hubungan di antara ide-ide secara tepat, logis, dan sistematis maka teori korespondensi menekankan pada apakah ide-ide itu merupakan fakta sendiri atau bukan. Persesuaian antara arti yang dikandung di berbagai pendapat dengan apa yang merupakan fakta-faktanya merupakan kriteria bagi teori korespondensi. Persoalan yang segera muncul dari pernyataan tentang fakta itu merupakan suatu ide yang sifatnya psikis. Lalu fakta itu sendiri mempunyai sifat non-psikis. Mungkinkah antara yang psikis dan non-psikis itu bisa sesuai? Rogers (Calvin Hall, 1995) mengatakan bahwa, kebenaran itu terletak pada kesesuaian antara esensi atau arti yang diberikan dengan esensi yang terkandung dalam diri hal atau objek itu sendiri. Tampak jelas dalam pendapat ini bahwa yang bersesuaian itu adalah esensi objek atau fakta sebagai arti dengan esensi yang terdapat dalam objek atau faktanya sendiri. Russel memperjelaskanya dengan mengatakan bahwa kebenaran adalah persesuaian antara arti yang terkandung oleh perkataan-perkataan yang telah ditentukan, dan kesesuaiannya berupa identiknya arti-arti tersebut. [8]
Menurut John S. Brubacher dalam bukunya Modern Philosophies of Education, teori korespondensi berpendapat bahwa kebenaran ialah hubungan antara subjek yang menyadari dengan objek yang disadari. Kebenaran sudah ada di luar diri nmanusia, yaitu dalam dunia ini. Manusia tinggal mencari dan menemukannya. Karena itu kebenaran lebih  ditentukan oleh faktor eksternal, bukan internal. [9]
Teori korespondensi menggantungkan kebenaran pada adanya ‘hubungan’ antara subjek dan objek. Ketiadaaan hubungan berarti ketiadaaan kebenaran. Belum mantapnya kebenaran dan tidak adanya jaminan tentang apakah memang sungguh-sungguh ada hubungan antara subjek dan objek, menjadi kritik yang tak dapat teori ini ingkari. Peristiwa ‘salah paham’ yang acapkali terjadi menunjukkan bukti kekeliruan orang dalam menguhubungkan diri dengan objek. Juga ‘berubah kesan’ yang diakibatkan oleh hubungan yang berulang-ulang terhadap objek yang sama, menunjukkan kelemahan teori ini. [10]
3.        Teori Kebenaran Inherensi (Inherent Theory of Truth)
Kadang-kadang teori ini disebut teori pragmatis. Pandangannya adalah suatu proposisi bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi yang dapat dipergunakan atau bermanfaat.
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori pragmatis ini adalah penganut pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, penyataan itu adalah benar.  Misalnya pengetahuan naik bis, kemudian akan turun dan bilang kepada kondektur ‘kiri’, kemudian bis berhenti di posisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, penumpang bisa turun dengan selamat. Jadi, mengukur kebenaran bukan dilihat karena bisa berhenti di posisi kiri, namun penumpang bisa turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri. [11]
Apa yang dikemukakan oleh teori korespondensi dapat menyelesaikan secara tuntas pekerjaan dalam mencari kebenaran. Tetapi kehidupan sehari-hari menuntut sesuatu yang lebih praktis dan langsung menimbulkan konsekuensi yang menguntungkan. Pragmatisme mewarnai pandangannya sebagai berikut: Pada umumnya teori memandang masalah kebenaran menurut segi kegunaannya. James mengatakan bahwa ‘Tuhan itu ada’adalah benar bagi seseorang yang hidupnya mengalami perubahan. Kepercayaan yang kuat terhadap adanya Tuhan itu dapat memberikan kesejukan hati, sehingga ada kemampuan batin untuk menerima segala bentuk perubahan. Dewey memberikan ilustrasi tentang kebenaran sebagai berikut: Dimisalkan kita sedang tersesat di tengah hutan. Kepada diri sendiri kita berkata dengan yakin bahwa ‘jalan keluarnya adalah ke arah kiri’. Pernyataan ini akan berarti jika kita benar-benar melangkah ke arah kiri. Selanjutnya, pernyataan ini benar apabila arah kiri pada akhirnya mengakibatkan konsekuensi posistif, yaitu benar-benar membawa kita keluar dari hutan. Jadi kebenaran menurut pragmatisme ini bergantung kepada kondisi yang berupa manfaat (utility), kemungkinan dapat dikerjakan (workability) dan kemungkinan yang memuaskan (satisfactory results). Persoalan yang segera muncul adalah apakah asas muncul yang cenderung subjektif itu justru tidak mengingkari asas objektivitas sebagai tujuan ilmu pengetahuan dalam dirinya sendiri? Workability adalah sesuatu yang mungkin dapat menuntun ke arah pemecahan masalah. Tetapi jika hal ini hanya bergantung sepenuhnya dengan keyakinan, maka spekulasi yang bisa menimbulkan kesesatan perlu dipertimbangkan. Satisfactory results juga belum tentu selalu dalam konteks kebenaran. Bukankah kita sering melihat bahwa hal itu muncul dari perbuatan yang tidak benar? Banyak pengacara yang puas dengan keberhasilan pembelaannya, padahal perkara itu seharusnya tidak perlu dibela. Banyak pula penyalahgunaaan hak yang mendatangkan kepuasan hidup dan kehidupan ini. [12]
Teori pragmatisme menurut John S. Brubacher dalam bukunya Modern Philosophies of Education, menyatakan bahwa kebenaran ialah sesuatu yang praktis, yang “bekerja”. Kebenaran tidaklah “ada”, melainkan “terjadi”. Kebenaran adalah proses pemeriksaan terhadap (benar-tidaknya) sesuatu dalam praktek pelaksanaan. Karena itu kebenaran tidak pernah sempurna-abadi, melainkan dalam proses berubah-ubah. Sesuatu disebut benar, hanya kapan berguna, mampu memecahkan problema yang ada. [13]
Teori Pragmatisme mengaitkan kebenaran pada daya guna objek. Objek menurut teori ini, bukanlah “hipotesa kerja” sebagaimana anggapan kedua teori di atas, melainkan ia sudah menjadi “alat kerja”. Sekalipun kenyataan praktek memperlihatkan bahwa pengakuan orang terhadap sesuatu didasarkan atas kegunaannya, namun kriteria kegunaan yang berlaku umum dan langgeng; sulit, bila tidak mustahil, ditemukan. Apa yang berguna berlaku terbatas dan berlangsung terbatas pula. Tepat apa yang dinyatakan dalam pepatah “habis manis sepah dibuang”. Dapatkah diperkenankan bahwa orang mengingkari sesuatu yang pernah berjasa memberikan “kepuasan: kepadanya? Manusiawikah tindakan seperti itu? [14]
4.        Teori Kebenaran Berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
Proposisi itu ditinjau dari segi artinya atau maknanya. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini mempunyai tugas untuk menguakkan kesahan dari proposisi dalam referensinya. (Abbas Hamami M., 1982, hlm. 29).
Teori kebenaran semantik dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russell sebagai tokoh pemula dari filsafat Analitika Bahasa. Misalnya filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti cinta akan kebijaksanaan. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau ada referensi yang jelas. Jika tidak mempunyai referensi yang jelas maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah. [15]
5.        Teori Kebenaran Sintaksis
Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang di antara filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika. Misalnya suatu kalimat standar harus ada subjek dan predikat. Jika kalimat tidak ada subjek maka kalimat itu dinyatakan tidak baku atau bukan kalimat, Seperti ‘semua korupsi’, ini bukan kalimat standar karena tidak ada subjeknya. [16]

6.        Teori Kebenaran Nondeskripsi
Teori kebenaran nondeskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu statement atau pernyataan akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung pada peran dan fungsi dari pernyataan itu. Jadi, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari. [17]
7.        Teori Kebenaran Logik yang Berlebihan (Logical Superfluity of Truth)
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistic yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini, problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini mengakibatkan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logis yang sama yang masing-masing saling melingkupinya, Dengan demikian, sesungguhnya setiap proposisi mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama dan semua orang sepakat, maka apabila kita membuktikannya lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan, Misalnya suatu lingkaran adalah bulat, ini telah memberikan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri tidak perlu diterangkan lagi, karena pada dasarnya lingkaran adalah suatu garis yang sama jaraknya dari titik yang sama, sehingga berupa garis yang bulat. (Abbas Hamami, 1996, hlm. 115-121). [18]





BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari berbagai teori yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah kesesuaian arti dengan fakta yang ada dengan putusan-putusan lain yang telah kita akui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah atau tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia. Namun apa yang kita amati, belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja menyimpang. Karena itu kebenaran yang mutlak hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa.

3.2 Kritik dan Saran




DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Erliana. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, Bogor: Ghalia Indonesia. 2011.
Komara, Endang. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Bandung: PT Refika Aditama. 2011.
Surajiyo. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara. 2007.
Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA. 2005.
Salam, Burhanuddin. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT Rineka Cipta. 1997.



[1] Surajiyo. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:  PT Bumi Aksara. Hlm. 104.
[2] Suparlan Suhartono. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA. Hlm. 81-83.
[3] Surajiyo. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:  PT Bumi Aksara. Hlm. 105.
[4] Endang Komara. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Bandung: PT Refika Aditama. Hlm.33-34.
[5] Burhanuddin Salam. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hlm. 58.
[6] Ibid. Hlm. 59.
[7] Surajiyo. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:  PT Bumi Aksara. Hlm. 105.
[8] Endang Komara. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Bandung: PT Refika Aditama. Hlm. 34.
[9] Burhanuddin Salam. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hlm. 58.
[10] Ibid. Hlm. 59.
[11] Surajiyo. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:  PT Bumi Aksara. Hlm. 106.

[12] Endang Komara. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Bandung: PT Refika Aditama. Hlm. 35.
[13] Burhanuddin Salam. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hlm. 58.

[14] Burhanuddin Salam. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hlm. 59-60.
[15] Surajiyo. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:  PT Bumi Aksara. Hlm. 106.
[16] Ibid.
[17] Ibid. Hlm. 106-107.
[18] Surajiyo. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:  PT Bumi Aksara. Hlm. 107.

{ 2 komentar... read them below or Comment }

Blogger templates

Blogroll

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates

Copyright © Jejak Pena Kirana -Black Rock Shooter- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan