Posted by : Unknown
Sabtu, 09 Agustus 2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebenaran dalam filsafat adalah lawan dari
kekhilafan, kekeliruan, atau khayalan. Kebenaran adalah soal hubungan antara
pengetahuan dan apa yang menjadi objeknya, konsep kebenaran epistemologi
terkait erat dengan sebuah pernyataan, kebenaran adalah bersifat semantik,
sehingga kebenaran itu ada pada proposisi, bukan pada sintaksis.
Perbedaan landasan ontologik menyebabkan
perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh
pengetahuan. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara yang benar dan
yang dipercaya. Pengetahuan diperoleh dari akal sehat, yaitu melalui pengalaman
secara tidak sengaja yang bersifat sporadik dan kebetulan sehingga cenderung
bersifat kebiasaan dan pengulangan, pengetahuan yang demikian cenderung
bersifat tidak jelas dan karenanya merupakan pengetahuan yang tidak teruji.
Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh
berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah)
menggunakan nalar yang logis. Untuk memperoleh ilmu pengetahauan, dibutuhkan
adanya metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif
sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoretis dengan pembuktian
yang dilakukan secara empiris. Ilmu, menyusun pengetahuan dengan konsisten dan
kumulatif, sedangkan secara empiris, ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai
dengan fakta dari yang tidak, sehingga melalui metode ilmiah, berbagai
penjelasan teoretis dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau
tidak.
Kebenaran pengetahuan yang dilihat dari
kesesuaian antara fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui
kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi
kehidupan manusia. Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu
pengetahuan, maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun
pengetahuan tersebuat harus benar.
Apa yang diyakini atas dasar pemikiran
mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah.
Demikian pula apa yang kita yakini karena apa yang kita amati belum tentu benar
karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan, itulah sebabnya
pengetahuan selalu tunbuh dan berkembang. Untuk dapat membuktikan suatu
pengetahuan bernilai benar, maka seseorang harus menganalisis terlebih dahulu
sikap, cara dan sarana yang digunakan dalam rangka membangun suatu pengetahuan.
Seseorang yang memperoleh pengetahuan melalui pngalaman indera tentu akan
berbeda cara pembuktiannya dengan seseorang yang bertitik tumpu pada akan atau
rasio, intuisi, otoritas, keyakinan dan atau wahyu. Pada umumnya, orang yang
memperoleh pengetahuan bukan melalui pengalaman inderan biasanya diawali oleh
keraguan dan ketidakpercayaan terhadap segala sesuatu sehingga semua harus
diragukan, seperti yang dilakukan oleh faham skeptisme yang ekstrem di bawah
pengaruh Pyrrho.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kebenaran?
2. Apa sajakah sifat-sifat kebenaran itu?
3. Bagaimana kebenaran dan tingkatannya?
4. Apa yang dimaksud dengan rasionalisme dan empirisme?
5. Apa saja teori kebenaran itu?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi tentang kebenaran.
2. Untuk mengetahui berbagi sifat dari kebenaran.
3. Untuk mengetahui berbagai kebenaran dan
tingkatannya
4. Untuk mengetahui tentang rasionalisme dan
empirisme.
5. Untuk menjelaskan berbagai teori tentang kebenaran.
1.4 Manfaat
Manfaat
yang diharapkan dari tugas ini ada dua hal yaitu manfaat teoritis dan manfaat
praktis. Manfaat teoritis yang diharapkan adalah memperkaya kajian ilmu tentang
pengantar filsafat ilmu terutama mengenai teori kebenaran. Secara manfaat
praktis adalah unutk membagi pemahaman kepada pembaca tentang teori kebenaran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kebenaran
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadarminta
ditemukan arti kebenaran, yakni:
a.
Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau
keadaan yang sesungguhnya).
b.
Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian
halnya dan sebagainya).
c.
Kejujuran atau kelurusan hati.
d.
Selalu izin; perkenanan.
Sedangkan kebenaran pengetahuan dapat diartikan sebagai persesuaian
antara pengetahuan dengan objeknya. Yang terpenting untuk diketahui adalah
bahwa persesuaian yang dimaksud sebagai kebenaran adalah merupakan pengertian
kebenaran yang immanen yakni kebenaran yang tetap tingal didalam jiwa dalam
kata lain adalah keyakinan.
Menurut Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya Ilmu, Filsafat dan
Agama menulis bahwa agama dapat diibaratkan sebagi suatu gedung besar
perpustakaan kebenaran.
Di dalam pembicaraan mengenai "kepercayaan" dapat
disimpulkan bahwa sumber kebenaran adalah Tuhan. Manusia tidak dapat hidup
dengan benar hanya dengan kebenaran- kebnaran pengetahuan, ilmu dan filsafat,
tanpa kebenaran agama.
2.2 Sifat-sifat Kebenaran
Menurut Abbas Hamami Mintaredja (1983) kata
‘kebenaran’ dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun
abstrak. Jika subjek hendak menuturkan kebenaran artinya proposisi yang benar.
Proposisi maksudnya makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement.
Hal yang demikian karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari
kualitas, sifat, hubungan dan nilai itu sendiri.
Berbagai
kebenaran dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (1996) dibedakan menjadi tiga
hal, yakni sebagai berikut:
Kebenaran
yang pertama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya ialah bahwa setiap
pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui suatu objek ditilik
dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya pengetahuan itu meliputi:
pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan
agama.
Kebenaran
pengetahuan yang kedua berkaitan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah
seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah membangunnya dengan penginderaan
atau akal pikirnya, atau rasio, intuisi, atau keyakinan.
Kebenaran
pengetahuan yang ketiga adalah nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas
ketergantungan
terjadinya pengetahuan itu. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antar subjek
dan objek, manakah yang
lebih dominan untuk membangun pengetahuan, subjekkah atau objek.[1]
2.3 Kebenaran dan Tingkatannya
Kebenaran
intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu
dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu
sendiri. Ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata
terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan
(ketidakbenaran) (Syafi’i dalam Mawardi). Poedjawiyatna (dikutip oleh Mawardi)
mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang
disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang
diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
1.
Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhana
dan pertama yang dialami manusia.
2.
Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping
melalui indera, diolah pula dengan rasio.
3.
Tingkatan filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam
mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya.
4.
Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang
Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
Keempat tingkat
kebenaran ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan
cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek
yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarana itu.
Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah
panca indera.
Semua orang
yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran.
Kebenaran adalah suatu nilai utama di dalam kehidupan manusia sebagai nilai-nilai
yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran
sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan
manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus
menerus apakah hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya .
2.4 Rasionalisme dan Empirisme
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya .
2.4 Rasionalisme dan Empirisme
Yang
dimaksud kebenaran ilmiah adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti
kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Adapun kebenaran yang pasti adalah
mengenai suatu objek materi, yang diperoleh menurut objek forma, metode dan
sistem tertentu. Karena itu, kebenaran ilmiah cenderung bersifat objektif,
tidak subjektif. Artinya, terkandung di dalamnya sejumlah pengetahuan menurut
sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian. Dengan demikian,
dapat dipastikan ia akan tahan terhadap verifikasi baik yang empirik maupun
yang rasional. Hal ini wajar, karena sudut pandang, metode dan sistem yang
dipakai juga bersumber dari pengalaman maupun akal pikiran.
Dalam
epistemologi, masalah kebenaran dibahas secara khusus. Adanya kebenaran
akan selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia (subjek yang mengetahui)
mengenai objek. Jadi, kebenaran itu ada pada sejauh mana subjek mempunyai
pengetahuan mengenai objek. Sedangkan pengetahuan berasal mula dari banyak
sumber. Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran
kebenaran.
Dari
sekian banyak sumber, ‘rasio’ dan ‘pengalaman indriawi’ merupakan sebagai
sumber utama sekaligus sebagai ukuran kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Sumber
rasio lebih bersangkutan dengan objek-objek umum, abstrak dan non-fisis,
sedangkan sumber pengalaman lebih bersangkutan dengan objek-objek khusus,
konkret dan fisis. Kedua sumber itu di dalam filsafat dikenal dengan
‘rasionalisme’ dan ‘empirisme’.
Rasionalisme
dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650), filosof dari Perancis. Dengan sikap
keragu-raguannya terhadap segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri, ia mencoba
mencari kebenaran yang jelas, tegas dan pasti, dan kebenaran itu ada pada ide
yang disebut idea innate (ide bawaan, terang benderang), yang hanya
dapat ditangkap oleh akal-pikiran. Dengan kegiatan berpikir inilah Descartes
menemukan sesuatu yang pasti, jelas dan tegas yaitu keberadaan diri sendiri. Hal
itu terkenal dengan ungkapannya ‘cogito ergo sum’, yang dalam bahasa Inggris
diartikan sebagai ‘I think therefore I am’ (saya berpikir, maka saya ada). Pada
prinsip dasar yang demikian inilah dia berpikiran bahwa semua kebenaran dapat
dikenal karena adanya kejelasan dan kepastian yang dihasilkan oleh kemampuan
berpikir itu sendiri. Jadi apapun yang dapat digambarkan secara jelas, tegas
dan pasti oleh pikiran adalah benar. Karena itulah ia berpendapat bahwa segala
sesuatu yang disaksikan oleh pengalaman indriawi mengandung kesesatan.
Empirisme
dipelopori oleh John Locke (1632-1704), salah seorang pengagum Descartes
dari Inggris. Teteapi, ia tidak menyetujui pendapatnya. Menurut Locke, pada
mulanya rasio manusia itu bagaikan ‘tabula rasa’ (as a white paper), seperti
kertas atau lilin putih bersih dan licin. Adapun seluruh isinya yang kemudian
membentuk ide itu berasal dari pengalaman indriawi. Pancaindera menangkap
data-data dan lalu tergambar di dalam rasio. Semakin aktif penginderaan, maka
semakin banyak data yang tergambar sehingga menjadi suatu ide yang rumit,
detail dan jelas. Dikatakan selanjutnya bahwa ada dua macam jenis pengalaman,
yaitu pengalaman lahir atau sensation dan pengalaman batin atau reflection.
Kedua sumber pengalaman ini menghasilkan ide-ide tunggal atau simple ideas (Rasionalisme
dan Empirisme, lihat K. Bertens: 1976).
Jika disimpulkan dan dievaluasi, sebenarnya
kedua sumber kebenaran itu mengandung kelemahan-kelemahan. Sumber rasio, sering
tidak cocok dengan keadaaan konkret dan praktis. Maksudnya banyak hal yang
rasional, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan konkret. Ide itu sendiri adalah
bukan benda objektif, dan ternyata ide itu mengalami perubahan. Kemampuan
pikiran dalam mengideakan objek, sering terjebak ke dalam analogi yang tidak
realistic. Begitu pula sumber pengalaman, karena sifatnya yang terlalu
subjektif dan relatif, maka lemah untuk dipakai sebagai dasar kebenaran. Lebih
dari itu, banyak pengalaman indera yang menyesatkan karena keterbatasan
kemampuan pancaindera dalam memahami objek. Penginderaan hanya mampu menangkap
bagian tertentu dari objek, sehingga mudah terjebak pada ‘generalisasi’.
Dari
sumber-sumber tersebut dapat dipahami bahwa kiranya posisi kebenaran itu lebih
pada pihak subjek yang mengetahui daripada objek yang diketahui.
Hal itu menunjukkan bahwa kebenaran lebih banyak bergantung pada objek, dalam
arti kemampuan rasio untuk mengideakan objek dan kemampuan indera dalam
memahami objek. Sedangkan realitas objek sebagaimana adanya tidak seluruhnya
dapat dipahami oleh kedua potensi tersebut baik rasio maupun penginderaan.
Jadi, kebenaran keilmuan, berdasarkan kemampuan rasio dan penginderaan,
sebenarnya barulah merupakan sebagian kejelasan dari suatu objek. Rasio yang
hanya bisa mengetahui ide suatu objek berarti hanya merupakan gambaran umumnya
saja. Sedangkan penginderaan hanya bisa mengenal bagian-bagian dari objek itu
saja. Oleh sebab itu, dalam konteks ilmu pengetahuan, kiranya baik potensi
rasio maupun pengalaman indera perlu difungsikan secara dialektik-fungsional,
saling lengkap-melengkapi dan saling uji-menguji sehingga kebenaran yang
dicapai bisa diandalkan. Dengan demikian, teori kebenaran kiranya memang cocok
untuk dipakai sebagai landasan dasar pengukuran kebenaran ilmiah. [2]
2.5 Teori Kebenaran
Dalam perkembangan pemikiran filsafat
perbincangan tentang kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian
diteruskan oleh Aristoteles. Plato melalui metode dialog membangun teori
pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak
itulah teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan penyempurnaan
sampai kini.
Untuk mengetahui apakah pengetahuan kita
mempunyai nilai kebenaran atau tidak. Hal ini berhubungan erat dengan sikap,
bagaimana cara memperoleh pengetahuan? Apakah hanya kegiatan dan kemampuan akal
pikir ataukah melalui kegiatan indera? Yang jelas, bagi seorang skeptik
pengetahuan tidaklah mempunyai nilai kebenaran, karena semua diragukan atau
keraguan itulah yang merupakan kebenaran.
Secara tradisional, teori-teori kebenaran
itu antara lain sebagai berikut:
1.
Teori Kebenaran Saling Berhubungan (Coherence Theory of Truth)
Teori Koherensi dibangun oleh para pemikir rationalis seperti
Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Element
of Philosophy teori koherensi dijelaskan “… suatu proposisi cenderung benar
jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan
proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam
keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita”.
Dengan memperhatikan pendapat Kattsoff tersebut, dapat diungkapkan
bahwa suatu proposisi itu benar bila mempunyai hubungan dengan ide-ide dari
proposisi yang telah ada atau benar. Pembuktian teori kebenaran koherensi dapat
melalui fakta sejarah apabila merupakan proposisi sejarah atau memakai logika
apabila merupakan pernyataan yang bersifat logis.
Sebagai contoh, kita mempunyai pengetahuan bahwa runtuhnya kerajaan
Majapahit adalah tahun 1478. Dalam hal ini kta tidak dapat membuktikan secara
langsung dari isi pengetahuan itu, melainkan hanya bisa membuktikan melalui
hubungan dengan proposisi terdahulu, baik dalam buku-buku sejarah atau
peninggalan sejarah yang mengungkapkan kejadian itu. [3]
Teori Koherensi sering disebut juga teori konsistensi, karena
menyatakan bahwa kebenaran itu tergantung pada adanya saling hubungan di antara
ide-ide secara tepat, yaitu ide-ide yang sebelumnya telah diterima sebagai
kebenaran. Bradley (Soetriono dan SRDm Rita Hanafie, 2007) mengatakan, bahwa
suatu proposisi itu cenderung benar dan koheren dengan proposisi benar yang
lain, atau jika arti yang dikandungnya itu koheren dengan pengalaman. Kaum
idealis menandaskan bahwa kebenaran tentu merupakan sifat yang dimiliki oleh ide
kita, karena semua hal yang kita ketahui itu adalah ide-ide, bukan barang atau
halnya sendiri. Oleh sebab itu kebenaran terletak pada saling berhubungan di
antara ide-ide tentang sesuatu yang ditangkap di alam pikiran. Tingkat saling
hubungan adalah ukuran bagi tingkat kebenaran itu sendiri. Semakin terdapat
saling hubungan di antara ide-ide yang makin meluas maka akan menunjukkan
kesahihan kebenaran yang semakin jelas pula. Dalam dunia pengadilan, misalnya,
semakin kuat saling hubungan antara seluruh kesaksian, maka semakin kuat pula
adanya kebenaran itu. Menghadapi teori koherensi ini, orang mudah untuk
menerimanya begitu saja karena memang logis dan dapat diterima oleh akal sehat
serta tidak bertentangan. Namun demikian saling hubungan di antara ide-ide itu
secara logis bisa saja palsu. Maka perlu kita sangsikan kemampuan implikasi
fakta itu sendiri? Lebih dari itu, teori ini menekankan pada sifat rasional dan
intelektual. Padahal realitas itu ada dalam dirinya sendiri yang juga mempunyai
sifat irrasional. [4]
Selain itu teori konsistensi menurut John S. Brubacher dalam
bukunya Modern Philosophies of Education mengemukakan bahwa kebenaran ialah
ketetapsamaan kesan antar-subjek terhadap objek yang sama. Seberapa jauh
konsistensi terhadap tanggapan subjek yang satu dengan subjek yang lain,
menentukan validitas dari kebenaran yang tertangkap. Menurut teori ini,
tidaklah cukup menjamin bahwa hubungan subjek-subjek disebut kebenaran,
meningkat watak setiap subjek yang selalu cenderung ke arah subjektivitas. [5]
Teori Konsistensi mengandalkan kebenaran pada kesepakatan antar
subjek terhadap objek yang sama. Meskipun teori ini berusaha menghindari untuk
tidak terjerumus pada kelemahan-kelemahan korespondensi, namun teori ini tidak
bisa mengelak pada kenyataan bahwa kesepakatan bisa saja menghasilkan sesuatu
yang bahkan bukan benar. “Mengeroyok” apa pun dalihnya, jelas merupakan
kesepakatan yang tidak benar = kesepakatan yang melawan hukum. Begitu pula
“menghukum beramai-ramai” adalah serupa dalam pengeroyokan dalam hal adanya
kesepakatan bersama. Hanya saja menghukum beramai-ramai, mengandung implikasi
kebenaran (moral) yang disalahgunakan. [6]
2.
Teori Kebenaran Saling Berkesesuaian (Correspondence Theory of
Truth)
Teori kbenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal
dan paling tua. Teori tersebut berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles
yang menyatakan segala sesuatu yang diketahui adalah suatu yang dapat
dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subjek. (Abbas Hamami, 1996, hlm.
116)
Teori ini berpandangan bahwa suatu propoisi bernilai benar apabila
saling berkesesuaian dengan dunia kenyataan. Kebenaran demikian dapat
dibuktikan secara langsung pada dunia kenyataan. Misalnya pengetahuan ‘air akan
menguap jika dipanasi sampai dengan 100 derajat’. Pengetahuan tersebut
dinyatakan benar kalau kemudian dicoba memanasi air dan diukur sampai seratus
derajat, apakah air menguap! Jika terbukti tidak menguap maka pengetahuan
tersebut dinyatakan salah, dan jika terbukti air menguap, maka pengetahuan
tersebut dinyatakan benar. [7]
Kalau teori koherensi diterima oleh kebanyakan kaum idealis, maka
teori korespondensi lebih bisa diterima oleh kaum realis. Teori korespondensi
ini mengatakan bahwa seluruh pendapat mengenai suatu fakta itu benar jika
pendapat itu sendiri disebut fakta yang dimaksud. Dengan kata lain, kebenaran
adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dengan fakta itu sendiri.
Terhadap suatu pendapat yang menyatakan bahwa ‘di luar hawanya dingin’
misalnya, maka teori ini menuntut adanya fakta bahwa dingin itu benar adanya
atau nyata berada di luar, bukan hanya ide tentang hawa dingin itu saja. Kalau
teori koherensi bersifat rasional-aprioris, maka teori korespondensi ini
bersifat empiris-aporterioris. Kalau teori koherensi menekankan adanya
saling hubungan di antara ide-ide secara tepat, logis, dan sistematis maka
teori korespondensi menekankan pada apakah ide-ide itu merupakan fakta sendiri
atau bukan. Persesuaian antara arti yang dikandung di berbagai pendapat dengan
apa yang merupakan fakta-faktanya merupakan kriteria bagi teori korespondensi.
Persoalan yang segera muncul dari pernyataan tentang fakta itu merupakan suatu
ide yang sifatnya psikis. Lalu fakta itu sendiri mempunyai sifat non-psikis.
Mungkinkah antara yang psikis dan non-psikis itu bisa sesuai? Rogers (Calvin
Hall, 1995) mengatakan bahwa, kebenaran itu terletak pada kesesuaian antara
esensi atau arti yang diberikan dengan esensi yang terkandung dalam diri hal
atau objek itu sendiri. Tampak jelas dalam pendapat ini bahwa yang bersesuaian
itu adalah esensi objek atau fakta sebagai arti dengan esensi yang terdapat
dalam objek atau faktanya sendiri. Russel memperjelaskanya dengan mengatakan
bahwa kebenaran adalah persesuaian antara arti yang terkandung oleh
perkataan-perkataan yang telah ditentukan, dan kesesuaiannya berupa identiknya
arti-arti tersebut. [8]
Menurut John S. Brubacher dalam bukunya Modern Philosophies of
Education, teori korespondensi berpendapat bahwa kebenaran ialah hubungan
antara subjek yang menyadari dengan objek yang disadari. Kebenaran sudah ada di
luar diri nmanusia, yaitu dalam dunia ini. Manusia tinggal mencari dan
menemukannya. Karena itu kebenaran lebih
ditentukan oleh faktor eksternal, bukan internal. [9]
Teori korespondensi menggantungkan kebenaran pada adanya ‘hubungan’
antara subjek dan objek. Ketiadaaan hubungan berarti ketiadaaan kebenaran.
Belum mantapnya kebenaran dan tidak adanya jaminan tentang apakah memang
sungguh-sungguh ada hubungan antara subjek dan objek, menjadi kritik yang tak
dapat teori ini ingkari. Peristiwa ‘salah paham’ yang acapkali terjadi
menunjukkan bukti kekeliruan orang dalam menguhubungkan diri dengan objek. Juga
‘berubah kesan’ yang diakibatkan oleh hubungan yang berulang-ulang terhadap
objek yang sama, menunjukkan kelemahan teori ini. [10]
3.
Teori Kebenaran Inherensi (Inherent Theory of Truth)
Kadang-kadang teori ini disebut teori pragmatis. Pandangannya
adalah suatu proposisi bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi yang dapat
dipergunakan atau bermanfaat.
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori pragmatis ini adalah
penganut pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam
konsekuensi. Atau proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian
yang memuaskan terhadap pengalaman, penyataan itu adalah benar. Misalnya pengetahuan naik bis, kemudian akan
turun dan bilang kepada kondektur ‘kiri’, kemudian bis berhenti di posisi kiri.
Dengan berhenti di posisi kiri, penumpang bisa turun dengan selamat. Jadi,
mengukur kebenaran bukan dilihat karena bisa berhenti di posisi kiri, namun
penumpang bisa turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri. [11]
Apa yang dikemukakan oleh teori korespondensi dapat menyelesaikan
secara tuntas pekerjaan dalam mencari kebenaran. Tetapi kehidupan sehari-hari
menuntut sesuatu yang lebih praktis dan langsung menimbulkan konsekuensi yang
menguntungkan. Pragmatisme mewarnai pandangannya sebagai berikut: Pada umumnya
teori memandang masalah kebenaran menurut segi kegunaannya. James mengatakan
bahwa ‘Tuhan itu ada’adalah benar bagi seseorang yang hidupnya mengalami
perubahan. Kepercayaan yang kuat terhadap adanya Tuhan itu dapat memberikan
kesejukan hati, sehingga ada kemampuan batin untuk menerima segala bentuk
perubahan. Dewey memberikan ilustrasi tentang kebenaran sebagai berikut:
Dimisalkan kita sedang tersesat di tengah hutan. Kepada diri sendiri kita
berkata dengan yakin bahwa ‘jalan keluarnya adalah ke arah kiri’. Pernyataan
ini akan berarti jika kita benar-benar melangkah ke arah kiri. Selanjutnya,
pernyataan ini benar apabila arah kiri pada akhirnya mengakibatkan konsekuensi
posistif, yaitu benar-benar membawa kita keluar dari hutan. Jadi kebenaran
menurut pragmatisme ini bergantung kepada kondisi yang berupa manfaat (utility),
kemungkinan dapat dikerjakan (workability) dan kemungkinan yang memuaskan
(satisfactory results). Persoalan yang segera muncul adalah apakah asas
muncul yang cenderung subjektif itu justru tidak mengingkari asas objektivitas
sebagai tujuan ilmu pengetahuan dalam dirinya sendiri? Workability adalah
sesuatu yang mungkin dapat menuntun ke arah pemecahan masalah. Tetapi jika hal
ini hanya bergantung sepenuhnya dengan keyakinan, maka spekulasi yang bisa
menimbulkan kesesatan perlu dipertimbangkan. Satisfactory results juga belum
tentu selalu dalam konteks kebenaran. Bukankah kita sering melihat bahwa hal
itu muncul dari perbuatan yang tidak benar? Banyak pengacara yang puas dengan
keberhasilan pembelaannya, padahal perkara itu seharusnya tidak perlu dibela.
Banyak pula penyalahgunaaan hak yang mendatangkan kepuasan hidup dan kehidupan
ini. [12]
Teori pragmatisme menurut John S. Brubacher dalam bukunya Modern
Philosophies of Education, menyatakan bahwa kebenaran ialah sesuatu yang
praktis, yang “bekerja”. Kebenaran tidaklah “ada”, melainkan “terjadi”.
Kebenaran adalah proses pemeriksaan terhadap (benar-tidaknya) sesuatu dalam
praktek pelaksanaan. Karena itu kebenaran tidak pernah sempurna-abadi,
melainkan dalam proses berubah-ubah. Sesuatu disebut benar, hanya kapan
berguna, mampu memecahkan problema yang ada. [13]
Teori Pragmatisme mengaitkan kebenaran pada daya guna objek. Objek
menurut teori ini, bukanlah “hipotesa kerja” sebagaimana anggapan kedua teori
di atas, melainkan ia sudah menjadi “alat kerja”. Sekalipun kenyataan praktek
memperlihatkan bahwa pengakuan orang terhadap sesuatu didasarkan atas
kegunaannya, namun kriteria kegunaan yang berlaku umum dan langgeng; sulit,
bila tidak mustahil, ditemukan. Apa yang berguna berlaku terbatas dan
berlangsung terbatas pula. Tepat apa yang dinyatakan dalam pepatah “habis
manis sepah dibuang”. Dapatkah diperkenankan bahwa orang mengingkari
sesuatu yang pernah berjasa memberikan “kepuasan: kepadanya? Manusiawikah
tindakan seperti itu? [14]
4.
Teori Kebenaran Berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
Proposisi itu ditinjau dari segi artinya atau maknanya. Apakah
proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai referen yang jelas.
Oleh sebab itu, teori ini mempunyai tugas untuk menguakkan kesahan dari
proposisi dalam referensinya. (Abbas Hamami M., 1982, hlm. 29).
Teori kebenaran semantik dianut oleh paham filsafat analitika
bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russell sebagai tokoh pemula
dari filsafat Analitika Bahasa. Misalnya filsafat secara etimologi berasal dari
bahasa Yunani philosophia yang berarti cinta akan kebijaksanaan. Pengetahuan
tersebut dinyatakan benar kalau ada referensi yang jelas. Jika tidak mempunyai
referensi yang jelas maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah. [15]
5.
Teori Kebenaran Sintaksis
Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada
keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau
tata bahasa yang melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai
benar apabila pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau
dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari
hal yang disyaratkan maka proposisi tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang
di antara filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian
gramatika. Misalnya suatu kalimat standar harus ada subjek dan predikat. Jika
kalimat tidak ada subjek maka kalimat itu dinyatakan tidak baku atau bukan
kalimat, Seperti ‘semua korupsi’, ini bukan kalimat standar karena tidak ada
subjeknya. [16]
6.
Teori Kebenaran Nondeskripsi
Teori kebenaran nondeskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat
fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu statement atau pernyataan akan
mempunyai nilai benar yang amat tergantung pada peran dan fungsi dari
pernyataan itu. Jadi, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan
itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari. [17]
7.
Teori Kebenaran Logik yang Berlebihan (Logical Superfluity of
Truth)
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistic yang diawali oleh
Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini, problema kebenaran hanya
merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini mengakibatkan suatu pemborosan, karena
pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logis
yang sama yang masing-masing saling melingkupinya, Dengan demikian,
sesungguhnya setiap proposisi mempunyai isi yang sama, memberikan informasi
yang sama dan semua orang sepakat, maka apabila kita membuktikannya lagi hal
yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan, Misalnya suatu
lingkaran adalah bulat, ini telah memberikan kejelasan dalam pernyataan itu
sendiri tidak perlu diterangkan lagi, karena pada dasarnya lingkaran adalah
suatu garis yang sama jaraknya dari titik yang sama, sehingga berupa garis yang
bulat. (Abbas Hamami, 1996, hlm. 115-121). [18]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari berbagai teori yang telah dibahas,
dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah kesesuaian arti dengan fakta yang ada
dengan putusan-putusan lain yang telah kita akui kebenarannya dan tergantung
kepada berfaedah atau tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia. Namun apa
yang kita amati, belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja
menyimpang. Karena itu kebenaran yang mutlak hanyalah milik Tuhan Yang Maha
Esa.
3.2 Kritik dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Erliana. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu
Pemerintahan, Bogor: Ghalia Indonesia. 2011.
Komara, Endang. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Bandung: PT
Refika Aditama. 2011.
Surajiyo. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, Jakarta:
Bumi Aksara. 2007.
Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jogjakarta: AR-RUZZ
MEDIA. 2005.
Salam, Burhanuddin. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta:
PT Rineka Cipta. 1997.
[1]
Surajiyo. Filsafat Ilmu &
Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:
PT Bumi Aksara. Hlm. 104.
[2]
Suparlan Suhartono. Filsafat
Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA. Hlm. 81-83.
[3]
Surajiyo. Filsafat Ilmu &
Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:
PT Bumi Aksara. Hlm. 105.
[4]
Endang Komara. Filsafat Ilmu
dan Metodologi Penelitian. Bandung: PT Refika Aditama. Hlm.33-34.
[5]
Burhanuddin Salam. Logika
Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hlm. 58.
[6]
Ibid. Hlm. 59.
[7]
Surajiyo. Filsafat Ilmu &
Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:
PT Bumi Aksara. Hlm. 105.
[8]
Endang Komara. Filsafat Ilmu
dan Metodologi Penelitian. Bandung: PT Refika Aditama. Hlm. 34.
[9]
Burhanuddin Salam. Logika
Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hlm. 58.
[10]
Ibid. Hlm. 59.
[11]
Surajiyo. Filsafat Ilmu &
Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:
PT Bumi Aksara. Hlm. 106.
[12]
Endang Komara. Filsafat Ilmu
dan Metodologi Penelitian. Bandung: PT Refika Aditama. Hlm. 35.
[13]
Burhanuddin Salam. Logika
Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hlm. 58.
[14]
Burhanuddin Salam. Logika
Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hlm. 59-60.
[15]
Surajiyo. Filsafat Ilmu &
Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:
PT Bumi Aksara. Hlm. 106.
[16]
Ibid.
[17]
Ibid. Hlm. 106-107.
[18]
Surajiyo. Filsafat Ilmu &
Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:
PT Bumi Aksara. Hlm. 107.
Kokom makasiih artikelnyaaaa :)
BalasHapusoke. semoga bermanfaat :)
BalasHapus