Posted by : Unknown Kamis, 12 Juni 2014

Pengertian
Menurut etimologi, ariyah adalah (العا ر ية)  diambil dari kata (عا ر) yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ariyah berasal dari kata () yang sama artinya dengan () (saling menukar dan mengganti), yakni dalam tradisi pinjam-meminjam. 1)
Menurut terminology syara’ ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefiniskannya, antara lain:
a.       Menurut Syarkhasyi dan ulama Malikiyah: 2)
تَمْلِيْكُ الْمَنْفَعَةِ بِغَيْرِ عَوْ ضٍ
Pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti.”
b.      Menurut Hanafiyah, ariyah ialah: 3) 

 “Memilikan manfaat secara cuma-cuma.”
c.       Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah: 4)
اِبَا حَةُ الْمَنْفَعَةِ بِلَا عَوْضٍ
“Pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti.”
d.      Menurut Hanabilah: 5)
اِبَا حَةُ نَفْعِ الْعَيْنِ بِغَيْرِ عَوْ ضٍ مِنَ الْمُسْتَعَيْرِ اَوْ غَيْرِ هِ
"Kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
e.       Ibnu Rif’ah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah: 6)
اِبَا حَةُ اْلإِنْتِفَاعِ بِمَا يَخِلُّ اْلإِنْتِفَاعِ  بِهِ مَعَ بَقَا ءِ عَيْنِهِ لِيَرُدَّه
 “Kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal  serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan.”
f.       Menurut al-Mawardi, yang dimaksud ariyah ialah: 7)
هِبَةُ اْلُمنَاَ فِعِ
Memberikan manfaat-manfaat.”
g.      Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa ganti. 8)
1)              Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, juz II. hlm. 263.
2)              Syamsuddin Asy-Syakhrasyi, AlMabsuth, juz XI. hlm. 133.
3)               Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh 'Ala Madzahib al-Arba'ah, ttp. tp. Th. 1969 hlm. 270.
4)              Muhammad Asy-Syarbini, Op.Cit., juz II. hlm. 264.
5)              Ibid.
6)              Abi Bakr Ibn Muhammad Taqiy al-Din, Kifayah al-ahyar, Alma'arif Bandung. tth. hlm. 291.
7)              Ibid.
8)              Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 1977  hlm. 67.

Dasar Hukum ‘Ariyah
            Menurut Sayyid Sabiq, tolong-menolong (‘ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ‘ariyah hukumnya wajib ketika awal Islam. ‘Ariyah dianjurkan (mandub) dalam Islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Al-qur’an ialah:

 وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ (المائدة)

 Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2).
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
 Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa: 58).
Sedangkan dalam Al-Hadits, ‘ariyah dinyatakan sebagai berikut:
 Sesampainya amanat orang yang memberikan amanat padamu dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud).
اَلْعَارِيَةِ مُؤَدَاةِ (رواه أبو داود)
Barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan.” (Riwayat Abu Dawud).
لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَعَرِ غَيْرِ الْمُغِلِّ ضَمَانٌ وَلاَ الْمُسْتَوْدِعِ غَيْرِ الْمُغِلِّ ضَمَانٌ (أخر جه الدا ر قطنى)
Pinjaman yang tidak khianat tidak berkewajiban mengganti kerugian dan orang yang menerima titipan yang tidak khianat tidak berkewajiban mengganti kerugian.” (Riwayat Daruquthni).
Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya maka Allah akan membayarnya, barang siapa yang meminjam hendak melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya.” (Riwayat Bukhari).
Orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zhalim (berbuat aniaya).” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW telah meminjam kuda dari Abu Thalhah kemudian beliau mengendarainya.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Dauwd dengan sanad yang jayyid dari Shafwan Ibn Umayyah, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah meminjam perisai dari Shafwan Ibn Umayyah pada saat Perang Hunain. Shafwan bertanya, “Apakah engkau merampasnya, ya Muhammad?” Nabi menjawab, “Cuma meminjam dan aku bertanggungjawab.”




Akad ini berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut.
Menurut Syarkhasyi dan ulama Malikiyah memberikan makna kepemilikan sehingga peminjam dibolehkan untuk meminjamkan kepada orang lain. Adapun pengertian dari Syafi’iyah dan Hambaliyah memberikan makna kebolehan, sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain.
Dengan dikemukannya definisi-definisi menurut para ahli di atas, jadi yang dimaksud ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis), bila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, maka hal itu tidak dapat disebut ariyah.
Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan Kabul, tidak wajib diucapkan tapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang di[injam dan boleh hukum ijab kabul dengan ucapan. 9(
Adapun menurut Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafazh shighat akad, yakni ucapan ijab dan Kabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin. 10)
Secara umum, jumhur ulama fiqh 11) menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu:
1.      Mu’ir (peminjam)
2.      Musta’ir (yang meminjamkan)
3.      Mu’ar (barang yang dipinjam)
4.      Shighat, yaitu sesuatu yang menunjukkan kebolehkan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

Ulama fiqh mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:
·         Mu’ir berakal sehat
Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknaya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh, dan bukan orang yang sedang pailit (bangkrut). 12)

 


  9)  Abd al-Rahman al-Jaziri, Op.Cit. hlm. 272.
10) Muhammad Asy-Syarbini, Op.Cit., juz II. hlm. 266.
11) Ibid., hlm. 264.
12) Ibid

·         Pemegangan barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah.
·         Barang (musta’ar) dapat diamnfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah 13)
Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, binatang dan lain-lain.
Diharamkan meminjam senjata dan kuda kepada musuh, juga diharamkan meminjam Al-qur’an atau yang berkaitang dengan Al-qur’an kepada orang kafir. Juga dilarang meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang ihram. 14)
Hak Memanfaatkan Barang Pinjaman (Musta’ar)
Jumhur ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa musta’ar dapat mengambil manfaat barng sesuai dengan izin mu’ir (orang yang member pinjaman). Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar bergantung pada jenis pinjaman, apakah mu’ir yang meminjamkannya secara terikat (muqayyad) atau mutlak.
a.       Ariyah Mutlak
Ariyah Mutlak, adalah pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan untuk orang lain, atau tidak dijelaskan cara penggunaannya. Contohnya, seseorang meminjam binatang, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan bintang tersbut, misalnya waktu dna tempat mengendarainya. Jadi, hukumnya sebagimana pemilik hewan-hewan, yaitu dapat mengambil. Namun demikian, harus sesuai dengan kebiasaaan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak dibolehkan menggunakan binatang tersebut siang malam dan tanpa henti. Sebaliknya, jika penggunaannya tidak sesuai kebiasaan dan barang pinjaman rusak, peminjam harus bertanggung jawab. 15)
b.      Ariyah Muqayyad
Ariyah Muqayyad adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi waktu dan kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya. Hukumnya, peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut. Hal ini karena asal dari batas adalah menaati batasan, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang. Dengan demikian, dibolehkan untuk melanggar vatasan tersebut apabila kesulitan untuk memanfaatkannya. 16)


 


13) Alauddin Al-Kasani, Op.Cit., juz II, hlm. 266.
14) Muhammad Asy-Syarbini, Op.Cit., juz II. hlm. 266.
15) Al-Kasani, Op.Cit., juz VI. hlm. 215.
16) Ibid

1.         Batasan penggunaan ariyah dari diri peminjam
Jika mu’ir membatasai hak penggunaan manfaat itu untuk dirinya sendiri dan masyarakat memandang adanya perbedaan tentang penggunaan dalam hal lainnya, seperti mengendarai bintang atau memakai pakaian. Dengan demikian, peminjam tidak boleh mengendarai bintang atau memakai pakaian yang ada.
2.         Pembatasan waktu dan tempat
Jika ariyah dibatasi waktu dan tempat, kemudian peminjam melewati tempat atau menambah waktunya, ia bertanggungjawab atas penambahan tersebut.
3.         Pembatasan ukuran berat dan jenis
Jika yang disyaratkan adalah berat barang atau jenis kemudian ada kelebihan dalam bobot tersebut, ia harus menanggung sesuai dengan kelebihannya.

Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir dan musta’ir tentang lamanya waktu meminjam, berat barang yang dibawa barang pinjaman atau tempat meminjam, pendapat yang harus dimenangkan atau diterima adalah pendapat mu’ir. Karena dialah yang memberi izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.  
Sifat Ariyah
Ulama Hanafiyah, Syfi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan peminjam atas barang adalah hak tidak lazim sebab merupakan kepemilikan yang tidak ada penggantinya. Pada hibah, misalnya bisa saja mu’ir mengambil barang yang dipinjamkannya kapan saja, sebagaimana peminjam dapat mengembalikannya kapan saja, baik pinjam-meminjam itu bersifat mutlak atau dibatasi waktu, kecuali oleh sebab-sebab tertentu, yang akan menimbulkan kemadaratan saat pengembalian barang tersebut, seperti kalau dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan barang akan rusak atau seperti orang yang meminjamkan tanah untuk mengubur mayat yang dihormati, maka mu’ir tidak boleh meminta kembali tanah tersebut dan si peminjam pun tidak boleh mengembalikannya sebelum jenazah berubah menjadi tanah. 17) 
Alasan mereka antara lain bahwa ariyah adalah transaksi yang dibolehkan, sebagaimana sabda Nabi SAW :
Pemberian itu ditolak sedang pinjam-meminjam adalah (suatu akad) yang dikembalikan.”(HR. Ibnu ‘Addy)
Menurut pendapat yang paling mashyur dari ulama Malikiyah, mu’ir tidak dapat meminta barang yang dipinjamkannya sebelum peminjam dapat mengambil manfaatnya. Jika ariyah ditempokan pada suatu waktu, mu’ir tidak boleh memintanya sebelum habis waktunya. Akan tetapi, pendapat yang paling unggul menurut Ad-Dardir, dalam kitab Syarah Al-Kabir, adalah mu’ir dapat meminta barang yang dipinjamkannya secara mutlak kapanpun ia menghendakinya.
17) Al-Kasani, Op.Cit., juz VI. hlm. 215.
Dari pendapat di atas, jelaslah bahwa ulam Malikiyah membolehkan untuk mengembalikan pinjaman kalau akadnya bersifat umum. Adapun jika akad dibatasi oleh syarat, waktu atau adat, mereka melarangnya.
Pokok perbedaan di antara dua kelompok di atas adalah berkaitan dengan pandangan tentang ariyah, apakah sebagi akad lazim atau ghair lazim.
Ihwal Ariyah, Apakah Tanggungan atau Amanat?
Ulama Hanafiyah berpendapat bahawa barang pinjaman itu merupakan amanat dari peminjam, baik dipakai maupun tidak. Dengan demikian, ia tidak menanggung barang tersebut jika mengalami kerusakan, kecuali kerusakan tersebut disengaja atau karena kelalaian. Hal ini karena tanggungan tidak dibebankan kepada mereka yang bukan pelaku. Selain itu, peminjam pun dikategorikan sebagai orang yang menjaga milik orang. Hal ini merupakan kebaikan bagi pemilik. 18)
Ulama Malikiyah 19) berpendapat bahwa peminjam harus menanggung barang yang tidak ada padanya, yakni yang dapat disembunyikan seperti baju. Dia tidak harus menanggung sesuatu yang tidak dapat disembunyikan, seperti hewan atau barang yang jelas dalam hal kerusakannya. Mereka beralasan dengan mengumpulkan (al-jam) dan menyelaraskan (at-taufiq) antara dua hadits:
1.         Hadits yang berkenaan dengan penyataan Nabi Muhammad SAW kepada Shfwan bin Umayyah bahwa ariyah adalah tanggungan yang dikembalikan, atau dalam riwayat lain Nabi SAW menyatakan bahwa ariyah adalah barang yang harus dikembalikan.
2.         Hadits yang menyatakan bahwa peminjam yang tidak khianat dan tidak bertanggungjawab, begitu pula bagi orang yang dititipi barang, jika ia tidak berkhianat, tidaklah bertanggung jawab. Hadits yang menyatakan bahwa peminjam bertanggungjawab mengaitkannya dengan barang yang hilang, sedangkan hadits yang menyatakan bahwa peminjam tidak bertanggungjawab mengaitkannya dengan barang yang tidak hilang. Pendapat ini hampir sam dengan pendapat Hanafiyah di atas bahwa ariyah adalah amanat.
Yang benar menurut kalangan Syafi’iyah, peminjam menanggung harga barang bila terjadi kerusakan dan bila ia menggunakannya tidak sesuai dengan izin yang diberikan pemilik walaupun tanpa disengaja. Hal ini didasarkan pada hadits Shafwan di atas. Adapun jika barang tersebut sesuai dengan izin pemilik, peminjam tidak menanggungnya ketika terjadi kerusakan. 20)
 


18) Al-Kasani, Op.Cit., juz VI. hlm. 117.
19) Ibnu Rusyd, Op.Cit., juz II. hlm. 308.
20) Al-Bagdady, Majmu Adh-Dhamanat, hlm. 55.

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa peminjam menanggung kerusakan barang pinjamannya secara mutlak, baik disengaja maupun tidak. Golongan ini mendasarkan pendapat mereka pada hadits dari Shafan ibn Umayyah di atas. Dan juga didasarkan pada hadits:
Tangan (yang mengambil) adalah bertanggung jawab atas apa yang diambilnya sehingga dipenuhi.” (HR. Ahmad dan pengarang kitab Sunan yang empat)
            Selain itu, barang pinjaman merupakan harta orang lain untuk diambil manfaat oleh dirinya. Berbeda dengan pengambilan manfaat yang disertai jaminan, seperti gadai. Dengan demikian, peminjam bertanggung jawab seperti gashab.
            Namun demikian, ulama Hambaliyah menyatakan, jika barang yang dipinjam adalah benda-benda wakaf, seperti buku-buku ilmiah atau barang-barang wakaf lainnya, kemudian rusak tanpa disengaja, maka ia tidak harus menanggung kerusakannya, sebab tujuan peminjaman barang itu ditujukan untuk kemaslahatan umum.
Ariyah Berubah dari Amanah kepada Tanggungan
Menurut ulama Hanafiyah, penyebab perubahan ariyah dari amanah kepada tanggungan karena diantara keduanya ada beberapa persamaan, seperti penyebab perubahan tersebut pada penitipan barang, yaitu dengan sebab-sebab sebagai berikut:
        i.            Menghilangkan barang.
      ii.            Tidak menjaga ketika menggunakan barang.
    iii.            Menggunakan barang pinjaman tidak sesuai dengan persyaratan atau kebiasaan yang berlaku.
    iv.            Menyalahi tata cara penjagaan yang seharusnya.
Biaya Pengembalian Barang
Biaya pengembalian barang pinjaman itu ditanggung oleh peminjam sebab pengembalian barang merupakan kewajiban peminjam yang telah mengambil manfaatnya.
Pembayaran Pinjaman
Setiap yang meminjam sesuatu kepada orang lain, berarti peminjam memiliki hutang kepada yang berpiutang (mu’ir), setiap hutang adalah utang wajib dibayar, maka berdosalah bagi orang yang tidak mau membayar hutang bahkan melalaikan membayar hutang juga termasuk menganiaya, perbuatan aniaya adalah salah satu perbuatan dosa. Rasulullah SAW bersabda:
Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman adalah boleh, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata, hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar hutang. Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar hutang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah pernah berhutang hewan, kemudian beliau bayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasulullah bersabda:
Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang dapat membayar hutangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad)
Adapun penambahan yang dikehendaki oleh yang berhutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perhutangan, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasulullah SAW bersabda:
Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba.” (Dikeluarkan oleh Baihaqi)
Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain, sekalipun pemiliknya boleh mengizinkannya, jika penggunaannya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut mazhab Hambali, boleh bagi peminjam untuk memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya, selama peminjaman berlangsung, kecuali barang tersebut disewakan. Maka haram hukumnya menurut Hambaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik barang.
 yang meminjam suatu benda, benda tersebut dipinjamkan kembali, dan kemudian rusak di tangn kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada keduanya. Dalm keadaan seperti ini lebih baik pemilik barang meminta jaminan kepada pihak keduanya, karena dialah yang memegang saat barang itu rusak. 21)
Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya, yaitu:
1.      Sesuai dengan QS. Al-Baqarah 282, hutang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tersebut dibuat di kertas bersegel atau bermaterai.
2.      Pinjaman hendaknya dilakukan dengan dasar adanya kebutuhan yang mendesak, disertai dalam hati dengan niat akan membayarnya atau mengembalikannya.
 


21) Sayyid Tsabiq, Fiqh Al-Sunnah, hlm. 68.

3.      Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berhutang, bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya membebaskannya.
4.      Pihak yang berhutang bila sudah mampu untuk membayar pinjaman, hendaknya mempercepat membayar hutangnya, karena lalai dalam pembayaran hutang, berarti berbuat dhalim.





















Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Blogger templates

Blogroll

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates

Copyright © Jejak Pena Kirana -Black Rock Shooter- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan