Posted by : Unknown Sabtu, 10 Mei 2014


A.    Konsep Spiritual Insan Kamil
Konsep insan kamil yang di ungkapkan oleh para tokoh tasawuf sebenarnya ada titik persamaannya yaitu bahwa manusia adalah sebagai wadah tajalli Tuhan atau manusia sebagai cermin Tuhan. Namun dari konsep-konsep yang ada ada sedikit perbedaan yang muncul, yang pasti perbedaan tersebut tidak bersifat esensial. Dibawah ini akan dibahas konsep insan kamil menurut beberapa tokoh tasawuf:
Konsep al-Hallaj
Konsep al-Hallaj tentang insan kamil bermuara dari doktrin al-hulul, yang ketika hulul lidah al-Hallaj mengucapkan “Ana ‘l-Haqq”. Munurutnya manusia(adam) adalah sebagai penampakan lahir dari citra Tuhan yang azali kepada zat-Nya yang mutlak yang tidak mungkin di sifatkan itu. Lebih jauh al-Hallaj berpendapat bahwa Allah mempunyai dua unsur dasar yaitu sifat ketuhanan(lahut) dan sifat kemanusiaan(nasut), demikian juga manusia. Sehingga mungkin saja terjadi penyatuan antara Allah dan manusia dan hal itu akan terjadi ketika manusia telah membersihkan batinnya sehingga sifat-sifat kemanusiaan lebur ke dalam sifat-sifat ketuhanan, kejadian itu dinamakan hulul. Saat itulah manusia telah mencapai derajat kesempurnaanya.
Disamping itu al-Hallaj juga mengemukakan teori “Nur Muhammad(al-haqiqah al-Muhammadiyah) (Yunasril Ali, 1997). Baginya Nabi Muhammad mempunyai dua esensi. Pertama esensinya sebagai nur(cahaya) azali yang qadim yang menjadi sumber segala ilmu dan ma’rifat, pandangan ini sesuai dengan hadits qudsi yang mengatakan”Kalau bukan karenamu tidak akan ku ciptakan alam semesta ini”. Kedua Muhammad sebagai esensi baru yang terbatas dalam ruang dan waktu. Dan Nabi Muhammad adalah contoh manusia sempurna dalam Islam.
Konsep Ibn ‘Arabi
Berbicara tentang Ibn ‘Arabi tidak akan lepas dari doktrin wahdatul wujud dengan tajalli Tuhan yang selanjutnya membawa kepada ajaran insan kamil. Mengenai insan kamil Ibn ‘Arabi berpendapat bahwa insan kamil adalah duplikasi Tuhan.
Yang paling tampak kekamilannya di antara manusia adalah Nabi. Karena para nabi adalah refleksi manusia sempurna maka mereka adalah wali(sahabat) Tuhan. Kualitas ini lebih tinggi daripada kualitas kenabian.
Menurut Ibn ‘Arabi manusia mempunyai dua aspek. Ibn ‘Arabi menggabungkan kedua aspek al-Hallaj menjadi satu aspek yaitu aspek batin yang merupakan esensi, aspek ini disebut al-haqq. Dan yang kedua aspek luar yang merupakan aksiden desebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya berbeda tapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq.
Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
كنت كنزا مخفيا فأحببت أن عرف فخلقت الخلق فبي عرفوني
Dari hadits tersebut tampak bahwa Allah ingin dikenal maka di ciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah Allah dikenal. Dari sini semakin jelas bahwa manusia adalah tajalli Tuhan.
Konsep al-Jili
Dalam kitabnya al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awa’il, al-Jili mengidentifikasi insan kamil dalam dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak yaitu Tuhan. Kedua, insan kamil yang jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-safat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi.
Proses tajalli menurut konsep al-Jili sebenarnya di mulai dari tajalli Dzat pada Sifat dan Asma kemudian pada perbuatan-perbuatan sehingga tercipta alam semesta. Akan tetapi dalam rangka meningkatkan martabat rohani, tajalli tersebut di tempatkan pada urutan terbalik, di mulai tajalli perbuatan-perbuatan(tajalli al-af’al), tajalli nama-nama(tajalli al-asma’), tajalli sifat-sifat(tajalli al-shifat), dan yang terakhir tajalli dzat(tajalli al-dzat).
Untuk mencapai tingkat insan kamil sufi mesti mengadakan taraqqi melalui tiga tingkatan yaitu: bidayah, Tawassuth, dan khitam. Pada tingkat bidayah seseorang mulai dapat merealisasikan asma-asma dan sifat-sifat Tuhan. Pada tingkat tawassuth seseorang tampak sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan dan sebagai realitas kasih saying Tuhan. Dan pada tingkat khitam seseorang telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Pada tingkat inilah seorang sufi menjadi insan kamil
Konsep Nuruddin al-Raniri
Insan kamil bagi al-Raniri adalah hakikat muhammad, merupakan hakikat pertama yang lahir dari tajalli Satu Dzat kepada dzat yang lain(Allah dengan Nur Muhammad). Hakikat Muhammad itu menghimpun seluruh kenyataan yang ada, karena seluruh alam ini merupakan wadah bagi Asma dan Dzat Allah. Dari sini posisi insan kamil menjadi penting bagi bagi semua keberadaan alam ini dan sekaligus sebagai cermin Allah untuk melihat hasil perjalanannya. Jadi seseorang bisa dikatakan insan kamil ketika dia telah memiliki Nur Muhammad dalam dirinya, yang dengan itu menjadi wadah tajalli Ilahi yang paripurna.
Selain itu insan kamil juga disebutnya sebagai khalifah Allah pada rupa dan makna.Yang dimaksud dengan dengan rupa adalah pada hakikat wujudnya. Wujud khalifah itu terjadi dari wujud Allah yang menciptakannya sebagai khalifah. Dengan kata lain, dia diciptakan dari sebab wujud-Nya.

B.     Ciri-ciri Insan Kamil
Untuk mengetahui ciri-ciri insan kamil dapat ditelusuri pada berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ulama yang keilmuannya sudah diakui, termasuk didalamnya aliran-aliran. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut :
1. Akalnya berfungsi secara optimal
Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya, manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik itu sesuai dengan esensinya dan merasa wajib melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu.
2. Intuisinya berfungsi
Insan kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul).
3. Mampu menciptakan budaya
Menurut Ibn Khaldun, manusia adalah makhluk berpikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berpikirnya itu manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses semacam ini melahirkan peradaban.
4. Menghiasi diri dengan sifat-sifat ketuhanan
Manusia termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). Sifat ini yang menyebabkan manusia itu sebagai khalifah di muka bumi ini. Sebagai khalifah Allah dimuka bumi, ia melaksanakan amanah Tuhan dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
5. Berakhlak Mulia
Insan kamil juga sebagai makhluk yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna itu memiliki tiga aspek yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan.
6. Berjiwa seimbang
Menurut Nashr, bahwa manusia modern sekarang ini tidak jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya yang bersifat permanen. Kutipan tersebut mengisyaratkan tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan yaitu seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah.
            7. Jasmani yang sehat serta kuat dan berketerampilan.
                                    Orang islam perlu memiliki jasmani yang sehat serta kuat, terutama berhubungan dengan penyiaran dan pembelaan serta penegakkan agama islam. Dalam surah al-Anfal : 60, disebutkan agar orang islam mempersiapkan kekuatan dan pasukan berkuda untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan pula dengan menguasai keterampilan yang diperlukan dalam mencari rezeki untuk kehidupan.
8. Cerdas serta pandai.
Cerdas ditandai oleh adanya kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai ditandai oleh banyak memiliki pengetahuan (banyak memiliki informasi). Didalam surah az-Zumar : 9 disebutkan sama antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui, sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
9. Ruhani yang berkualitas tinggi.
Kalbu yang berkualitas tinggi itu adalah kalbu yang penuh berisi iman kepada Allah, atau kalbu yang taqwa kepada Allah. Kalbu yang iman itu ditandai bila orangnya shalat, ia shalat dengan khusuk, bila mengingat Allah kulit dan hatinya tenang  bila disebut nama Allah bergetar hatinya bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mereka sujud dan menangis.

Sifat – sifatnya manusia yang sempurna terdiri dari : Keimanan, Ketaqwaan, Keadaba, Keilmuan, Kemahiran, Ketertiban, Kegigihan dalam kebaikan dan kebenaran, Persaudaraan, Persepakatan dalam hidup, Perpaduan dalam umah.
      
Untuk cara-cara mencapainya ialah dengan :
·         Ilmu taubat dengan syarat – syaratnya menghindari dari yang menyebabkan nafsu dengan mengawalnya dengan mendisiplinkan pergaulan dan harta serta mengambilkan yang halal dan membelanjakan dalam perkara halal, kemudian disertai dengan berhemat.
·         Berjaga – jaga supaya amalan tidak binasa oleh niat-niat yang merobohkannya seperti ria digantikan dengan ikhlas.
·         Keadaan tergesa-gesa digantikan dengan sabar.
·         Tidak cermat digantikan dengan sifat cermat menyelamatkan diri daripada kelesuan.
·         Dengan mengamalkan sifat harap dan takut, maksudnya harap bahwa Allah akan menerima amalan dan menyelamatkan kita, takut kalau-kalau Allah tidak mengampuni kita dan menerima amalan kita.
·         Mengamalkan sifat puji dan syukur dalam hidup terhadap Allah juga terhadap makhluk yang menjadi wasilah atau perantara sampainya nikmat Allah kepada kita. Puji dan syukur itu dapat berupa rasa gembira dan syukur terhadap nikmat Allah dan lidah mengucapkan kesyukuran, al-hamdulillah, serta dengan melakukan perbuatan – perbuatan yang dirhidoi Allah SWT.

Adapun beberapa ciri – ciri atau kriteria Insan Kamil yang dapat kita lihat pada diri Rasulullah SAW yakni 4 sifat yakni :
§  Sifat amanah (dapat dipercaya)
Ialah dapat memegang apa yang dipercayakan seseorang kepadanya walaupun hanya sesuatu yang kita anggap kurang berharga. Sifat amanah ini dimiliki hanya orang – orang yang mengerti tentang kehidupan di masa sekarang dan di masa yang akan datang, maksudnya ia telah menyadari bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan kehidupan yang kekal dan abadi hanya di alam akhirat dengan dasar itulah orang – orang yang memiliki sifat amanah dapat menerapkannya di kehidupannya sehari – hari.
§  Sifat fathanah (cerdas)
Seseorang yang memiliki kepintaran di dalam bidang fomal atau di sekolah belum tentu dia dapat cerdas dalam menjalani kehidupannya, sebab bila kita lihat kenyataan di masyarakat bahwa banyak sarjana yang telah menyelesaikan studinya hanya menjadi pengangguran yang tak dapat mengembangkan semua pengetahuan yang didapatnya itu menunjukkan bahwa ia bukanlah seseorang yang cerdas. Cerdas ialah sifat yang dapat membawa seseorang dalam bergaul, bermasyarakat dan dalam menjalani kehidupannya untuk menuju yang lebih, tapi sifat cerdas ini tidaklah dimiliki setiap orang. Walaupun ada hanya sedikit orang yang memiliki kecerdasan, biasanya orang memiliki kecerdasan ini adalah orang telah mengalami banyak pengalaman hidup yang dapat berguna di dalam menjalani kehidupan.
§  Sifat siddiq (jujur)
Jujur adalah sebuah kata yang sangat sederhana sekali dan sering kita jumpai, tapi sayangnya penerapannya sangat sulit sekali di dalam bermasyarakat. Entah dikarenakan apa dan kenapa kita sebagai manusia sangat sulit sekali untuk berlaku jujur baik jujur dalam perkataan dan perbuatan. Sifat jujur sering sekali kita temui di dalam kehidupan sehari – hari tapi tidak ada sifat jujur yang murni maksudnya ialah, sifat jujur tersebut mempunyai tujuan lain seperti mangharapkan sesuatu dari seseorang barulah kita bisa bersikap jujur.
§  Sifat Tabligh (menyampaikan)
Maksudnya tabligh disini ialah menyampaikan apa yang seharusnya di dengar oleh orang lain dan berguna baginya. Tentunnya sesuatu yang akan disampaikan itu pun haruslah sesuatu yang benar dan sesuai dengan kenyataan.

C.     Insan Kamil dan Tanggung Jawab Sosial
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paling paripurna. Oleh karena apa-apa yang ada pada insan kamil tentunya sudah dapat di jamin kesempurnaannya. Karena tidak mungkin manifestasi Tuhan bersifat tidak sempurna, walaupun sebagaimana yang di katakan Muthahhari tingkat kesempurnaan insan kamil sifatnya bertingkat-tingkat.
Sudah di akui bahwa timgkatan insan kamil tertinggi ada pada Nabi Muhammad, baik kapasitasnya sebagai al-haqiqah al-Muhammadiyah maupun sebagai utusan Allah untuk umat manusia yang terbatas oleh ruang dan waktu.
Nabi Muhammad sebagai insan kamil dalam kehidupannya di dunia merupakan suatu pribadi yang multi dimensi. Nabi Muhammad di kenal sebagai seorang nabi yang ibadahnya luar biasa kuat, sehingga kalau malam shalat sampai kakinya bengkak. Tapi di siang hari beliau mengatur ekonomi, mengatur politik bahkan mengatur perang. Rasulullah dan para sahabat di zaman Rasul sering digambarkan sebagai ruhbanun bi al-lail wa fursanun di al-nahar, mereka itu rahib-rahib di waktu malam hari dan ksatria-ksatria di siang.
Kesempurnaan Nabi Muhammad di akui oleh dumia, tidak hanya dari satu kalangan saja. Karen Amstrong seorang ilmuan barat mencoba meneliti agama Islam dengan meneliti tokoh utamanya, Nabi Muhammad. Ketika melaporkan tentang beliau, ia menjadi seorang pambela yang luar biasa. Karen mengatakan (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1997) menjelang tahun 622 tampak sudah seakan-akan kehendak Tuhan akan terjadi di Arabia. Berbeda dengan nabi-nabi terdahulu Muhammad bukan saja mengajarkan laki-laki dan perempuan tentang visi dan harapan baru, tetapi ia juga telah berusaha nemikul tugas untuk memyelamatkan sejarah manusia dan menciptakan masyarakat yang adil, yang memberikan peluang kepada setiap manusia laki-laki dan perempuan untuk mengaktualisaikan potensinya yang sebenarnya. Dari sini tampak bagaimana peran nabi dalam kehidupan sosialnya.
Gambaran lain dari potret seorang insan kamil adalah Imam Ali bin Abi Thalib. Oleh Jalaluddin Rakhmat (1999) digambarkan bahwa pada dirinya kita melihat sufi yang rela hidup dalam kefakiran, tetapi pada saat yang sama membenci kefakiran. Dari pribadinya sebagian orang akan beranggapan bahwa kemiskinan adalah kebajikan dan kekayaan adalah kemaksiatan. Tetapi dari kepribadiannya pula sebagian yang lain melihat kesungguhan untuk melenyapkan kemiskinan, dan meyakini bahwa kemiskinan adalah musuh yang harus di musnahkan.
Dalam hal insan kamil ini Iqbal tidak sepaham dengan konsep-konsep terdahulu. Menurutnya konsep-konsep tersebut akan membunuh individualitas dan melemahkan khudi(jiwa). Iqbal sepakat bahwa Nabi Muhammad adalah insan kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik. Insan kimil versi Iqbal tidak lai adalah sang mukmin yang di dalamnya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan dan kebijaksanaan. Yang merupakan makhluk moralis, yang di anugarahi kemamapuan rohani dan agamawi. Untuk menumbuhkan kekuatan yang ada dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati akhlak.
Menurut Iqbal proses lahirnya insan kamil melalui tiga tahap yaitu: pertama, ketaatan pada hukum. Kedua, penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi. Ketiga, kekhalifahan Ilahi.
Secara garis besar amal saleh terbagi menjadi dua bagian. Pertama, amal saleh kepada Allah (hablun min Allah) yang disebut juga ibadah mahdlah. Kedua, amal saleh untuk sesama manusia (hablun min al-nas) yang disebut juga ibadah ghoiru mahdlah. Dan yang menarik adalah bahwa hubungan kemanusiaan (muamalah) sangat menetukan ibadah mahdlah. Bahkan disebutkan dalam sebuah hadits yang menunjukkan bahwa manusia yang baik adalah manusia yang membawa kemaslahatan kepada umat manusia.

D.    Proses Munculnya Insan Kamil
Munculnya insan kamil dapat ditelusuri melalui dua sisi. Pertama melalui tahap-tahap tajalli Tuhan pada alam sampai munculnya insan kamil. Kedua melalui maqamat (peringkat-peringkat kerohanian) yang dicapai oleh seseorang sampai pada kesadaran tertinggi yang terdapat pada insan kamil.
Tajalli Tuhan – dalam pandangan Ibn Arabi – mengambil dua bentuk: pertama tajalli gaib atau tajalli żāti yang berbentuk penciptaan potensi, dan kedua tajalli syuhūdi (penampakan diri secara nyata), yang mengambil bentuk pertama, secara intrinsik hanya terjadi di dalam esensi Tuhan tersendiri. Oleh karena itu, wujudnya tidak berbeda dengan esensi Tuhan itu sendiri karena ia tidak lebih dari suatu proses ilmu Tuhan di dalam esensi-Nya sendiri, sedangkan tajalli  dalam bentuk kedua ialah ketika potensi-potensi yang ada di dalam esensi mengambil bentuk aktual dalam berbagai fenomena alam semesta.
Tajalli tidak hanya berhenti pada satu bentuk saja, namun berkembang menjadi beberapa bentuk. Yang mana merupakan suatu bentuk peralihan dari sesuatu yang potensial kepada yang actual dan ini terjadi secara abadi, karena tajalli ilahi  tidak pernah berhenti pada suatu batas perhentian. Tujuannya ialah agar Tuhan dapat dikenal lewat nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam semesta. Akan tetapi alam semesta ini berada dalam wujud yang terpecah-pecah, sehingga tidak dapat menampung citra Tuhan secara utuh, hanya pada manusia citra Tuhan dapat tergambar secara sempurna, yaitu pada insan kamil. Martabat insan kamil ini baru dapat dicapai setelah melalui beberapa maqâm (tingkat-tingkat kerohanian, jamaknya: maqāmāt). Dalam perjalanan melalui tingkat-tingkat kerohanian itu sufi akan mengalami beberapa keadaan batin.
Maqāmāt adalah tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia yang dipandang berhala terbesar dan karena itu kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan tahun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Sedangkan “ahwāl” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Di antara ahwāl yang sering disebut adalah takut, syukur, rendah hati, takwa, ikhlas, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwāl dialami secara spontan, berlangsung sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras seperti halnya maqāmāt, melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan ilahi (Divine Flashes), yang biasa disebut “lama’at.”
قال بروى احمد طبانه فى مقدمة احياء علوم الدين للغزالى : (ربع المنجيات) فى ابواب الخوف والرجاء والصبر والشكر والفقر والزهد والتوحيد والتوكل والمحبة والشوق والانس والرضا
Barwa Ahmad Tabanah berkata dalam Muqadimah Ihyā’ Ulumudin karya al-Ghazali: “Seperempat bagian yang menyelamatkan (maqāmāt) dalam bab khauf (takut), rajā’ (berharap), sabar, syukur, kefakiran, zuhud, tauhid, tawakal, cinta, rindu, mesra, dan rida.
Setelah menempuh segala maqām sampailah sufi kepada keadaan fanā’ dan baqā’. Dalam keadaan demikian, insan kembali kepada wujud asalnya, yakni wujud mutlak. Fanā’ adalah sirnanya kesadaran manusia terhadap segala alam fenomena, dan bahkan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan (fanā’ ‘an sifāt al-haqq), sehingga yang betul-betul ada secara hakiki dan abadi (baqā’) di dalam kesadarannya ialah wujud mutlak. Untuk sampai kepada keadaan demikian, sufi secara gradual, harus menempuh enam tingkat fanā’ yang mendahuluinya, yaitu:
1.      Fanā’ ‘an al-Mukhālafāt (sirna dari segala dosa). Pada tahap ini sufi memandang bahwa semua tindakan yang bertentangan dengan kaidah moral sebenarnya berasal dari Tuhan juga. Jika seseorang masih memandang tindakannya sebagai miliknya yang hakiki, ini menandakan ia masih berada pada hadrah az-zulmah al-mahd (hadirat kegelapan murni).
2.      Fanā’ ‘an af’āl al-‘ibād (sirna dari tindakan-tindakan hamba). Pada tahap sufi menyadari bahwa segala tindakan manusia pada hakikatnya dikendalikan oleh Tuhan dari balik tabir alam semesta. Dengan demikian sufi menyadari adanya “satu agen mutlak” dalam alam ini, yakni Tuhan.
3.      Fanā’ ‘an sifāt al-makhlūqīn (sirna dari sifat-sifat makhluk). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segala atribut dan kualitas wujud mumkin (contingent) tidak lain adalah milik Allah. Dengan demikian, sufi menghayati segala sesuatu dengan kesadaran ketuhanan, ia melihat dengan penglihatan Tuhan, mendengar dengan pendengaran Tuhan, dan seterusnya.
4.      Fanā’ ‘an kull az-zāt (sirna dari personalitas diri). Pada tahap ini sufi menyadari non-eksistensi dirinya, sehingga yang benar-benar ada di balik dirinya ialah zat yang tidak bisa sirna selama-lamanya.
5.      Fanā’ ‘an kull al-‘alam (sirna dari segenap alam). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segenap aspek alam fenomenal ini pada hakikatnya hanya khayal, yang benar-benar ada hanya realitas yang mendasari fenomena.
6.      Fanā’ ‘an kull mā siwā ‘l-lāh (sirna dari segala sesuatu yang selain Allah). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa zat yang betul-betul ada hanya zat Allah.
Ketika sufi mencapai fanā’ tahap keenam ia menyadari bahwa yang benar-benar ada adalah wujud mutlak yang mujarrad dari segenap kualitas nama dan sifat seperti permulaan keberadaan-Nya. Inilah perjalanan panjang sufi menuju ke asal. Kesadaran puncak mistis seperti inilah yang dicapai insan kamil.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Blogger templates

Blogroll

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates

Copyright © Jejak Pena Kirana -Black Rock Shooter- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan