Posted by : Unknown
Sabtu, 10 Mei 2014
A.
Konsep
Spiritual Insan Kamil
Konsep insan kamil yang di ungkapkan oleh para
tokoh tasawuf sebenarnya ada titik persamaannya yaitu bahwa manusia adalah
sebagai wadah tajalli Tuhan atau manusia sebagai cermin Tuhan. Namun dari konsep-konsep yang ada ada sedikit perbedaan yang muncul, yang
pasti perbedaan tersebut tidak bersifat esensial. Dibawah ini akan dibahas
konsep insan kamil menurut beberapa tokoh tasawuf:
Konsep
al-Hallaj
Konsep al-Hallaj tentang
insan kamil bermuara dari doktrin al-hulul, yang ketika hulul lidah al-Hallaj
mengucapkan “Ana ‘l-Haqq”. Munurutnya manusia(adam) adalah sebagai
penampakan lahir dari citra Tuhan yang azali kepada zat-Nya yang mutlak yang
tidak mungkin di sifatkan itu. Lebih jauh al-Hallaj berpendapat bahwa
Allah mempunyai dua unsur dasar yaitu sifat ketuhanan(lahut) dan sifat
kemanusiaan(nasut), demikian juga manusia. Sehingga mungkin saja terjadi
penyatuan antara Allah dan manusia dan hal itu akan terjadi ketika manusia
telah membersihkan batinnya sehingga sifat-sifat kemanusiaan lebur ke dalam
sifat-sifat ketuhanan, kejadian itu dinamakan hulul. Saat itulah manusia
telah mencapai derajat kesempurnaanya.
Disamping itu al-Hallaj
juga mengemukakan teori “Nur Muhammad(al-haqiqah al-Muhammadiyah) (Yunasril
Ali, 1997). Baginya Nabi Muhammad mempunyai dua esensi. Pertama
esensinya sebagai nur(cahaya) azali yang qadim yang menjadi sumber
segala ilmu dan ma’rifat, pandangan ini sesuai dengan hadits qudsi yang
mengatakan”Kalau bukan karenamu tidak akan ku ciptakan alam semesta ini”.
Kedua Muhammad sebagai esensi baru yang terbatas dalam ruang dan waktu. Dan Nabi
Muhammad adalah contoh manusia sempurna dalam Islam.
Konsep Ibn ‘Arabi
Berbicara tentang Ibn ‘Arabi tidak akan
lepas dari doktrin wahdatul wujud dengan tajalli Tuhan yang
selanjutnya membawa kepada ajaran insan kamil. Mengenai insan kamil Ibn ‘Arabi berpendapat bahwa insan kamil adalah
duplikasi Tuhan.
Yang paling tampak
kekamilannya di antara manusia adalah Nabi. Karena para nabi adalah refleksi
manusia sempurna maka mereka adalah wali(sahabat) Tuhan. Kualitas ini lebih tinggi
daripada kualitas kenabian.
Menurut Ibn ‘Arabi manusia
mempunyai dua aspek. Ibn ‘Arabi menggabungkan kedua aspek al-Hallaj
menjadi satu aspek yaitu aspek batin yang merupakan esensi, aspek ini disebut al-haqq.
Dan yang kedua aspek luar yang merupakan aksiden desebut al-khalq. Semua
makhluk dalam aspek luarnya berbeda tapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq.
Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
كنت كنزا مخفيا فأحببت أن عرف فخلقت الخلق فبي
عرفوني
Dari hadits tersebut
tampak bahwa Allah ingin dikenal maka di ciptakan-Nya makhluk, dan melalui
makhluklah Allah dikenal. Dari sini semakin jelas bahwa manusia adalah tajalli
Tuhan.
Konsep al-Jili
Dalam kitabnya al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah
al-Awakhir wa al-Awa’il, al-Jili mengidentifikasi insan kamil dalam dua
pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang
sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan
mengenai sesuatu yang dianggap mutlak yaitu Tuhan. Kedua, insan kamil
yang jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-safat Tuhan ke dalam
hakikat atau esensi.
Proses tajalli
menurut konsep al-Jili sebenarnya di mulai dari tajalli Dzat pada
Sifat dan Asma kemudian pada perbuatan-perbuatan sehingga tercipta alam
semesta. Akan tetapi dalam rangka meningkatkan martabat rohani, tajalli
tersebut di tempatkan pada urutan terbalik, di mulai tajalli
perbuatan-perbuatan(tajalli al-af’al), tajalli nama-nama(tajalli al-asma’),
tajalli sifat-sifat(tajalli al-shifat), dan yang terakhir tajalli dzat(tajalli
al-dzat).
Untuk mencapai tingkat
insan kamil sufi mesti mengadakan taraqqi melalui tiga tingkatan yaitu: bidayah,
Tawassuth, dan khitam. Pada tingkat bidayah seseorang mulai dapat
merealisasikan asma-asma dan sifat-sifat Tuhan. Pada tingkat tawassuth seseorang
tampak sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan dan sebagai realitas kasih
saying Tuhan. Dan pada tingkat khitam seseorang telah dapat
merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Pada tingkat inilah seorang sufi
menjadi insan kamil
Konsep Nuruddin al-Raniri
Insan kamil bagi al-Raniri adalah
hakikat muhammad, merupakan hakikat pertama yang lahir dari tajalli Satu
Dzat kepada dzat yang lain(Allah dengan Nur Muhammad). Hakikat Muhammad itu
menghimpun seluruh kenyataan yang ada, karena seluruh alam ini merupakan wadah
bagi Asma dan Dzat Allah. Dari sini posisi insan
kamil menjadi penting bagi bagi semua keberadaan alam ini dan sekaligus sebagai
cermin Allah untuk melihat hasil perjalanannya. Jadi seseorang bisa dikatakan
insan kamil ketika dia telah memiliki Nur Muhammad dalam dirinya, yang
dengan itu menjadi wadah tajalli Ilahi yang paripurna.
Selain itu insan kamil
juga disebutnya sebagai khalifah Allah pada rupa dan makna.Yang dimaksud dengan
dengan rupa adalah pada hakikat wujudnya. Wujud khalifah itu terjadi dari wujud
Allah yang menciptakannya sebagai khalifah. Dengan kata lain, dia diciptakan
dari sebab wujud-Nya.
B.
Ciri-ciri Insan Kamil
Untuk mengetahui ciri-ciri insan kamil dapat
ditelusuri pada berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ulama yang
keilmuannya sudah diakui, termasuk didalamnya aliran-aliran. Ciri-ciri tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Akalnya
berfungsi secara optimal
Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada
pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya, manusia yang akalnya berfungsi secara
optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik itu sesuai dengan
esensinya dan merasa wajib melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan
oleh wahyu.
2. Intuisinya
berfungsi
Insan kamil dapat juga dicirikan dengan
berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam pandangan Ibn
Sina disebut jiwa manusia (rasional soul).
3. Mampu
menciptakan budaya
Menurut Ibn Khaldun, manusia adalah makhluk
berpikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat
kemampuan berpikirnya itu manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga
menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses
semacam ini melahirkan peradaban.
4. Menghiasi
diri dengan sifat-sifat ketuhanan
Manusia termasuk makhluk yang mempunyai naluri
ketuhanan (fitrah). Sifat ini yang menyebabkan manusia itu sebagai khalifah di
muka bumi ini. Sebagai khalifah Allah dimuka bumi, ia melaksanakan amanah Tuhan
dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
5. Berakhlak
Mulia
Insan kamil juga sebagai makhluk yang berakhlak
mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syari’ati yang mengatakan bahwa
manusia yang sempurna itu memiliki tiga aspek yakni aspek kebenaran, kebajikan
dan keindahan.
6. Berjiwa
seimbang
Menurut Nashr, bahwa manusia modern sekarang
ini tidak jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa hakikat manusia terletak pada
aspek kedalamannya yang bersifat permanen. Kutipan tersebut mengisyaratkan
tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan yaitu seimbang antara pemenuhan
kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah.
7. Jasmani yang
sehat serta kuat dan berketerampilan.
Orang islam perlu memiliki jasmani yang sehat
serta kuat, terutama berhubungan dengan penyiaran dan pembelaan serta
penegakkan agama islam. Dalam surah al-Anfal : 60, disebutkan agar orang islam
mempersiapkan kekuatan dan pasukan berkuda untuk menghadapi musuh-musuh Allah.
Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan pula dengan menguasai keterampilan yang
diperlukan dalam mencari rezeki untuk kehidupan.
8. Cerdas
serta pandai.
Cerdas ditandai oleh adanya kemampuan
menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai ditandai oleh
banyak memiliki pengetahuan (banyak memiliki informasi). Didalam surah az-Zumar
: 9 disebutkan sama antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak
mengetahui, sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.
9.
Ruhani yang berkualitas tinggi.
Kalbu yang berkualitas tinggi itu adalah kalbu
yang penuh berisi iman kepada Allah, atau kalbu yang taqwa kepada Allah. Kalbu
yang iman itu ditandai bila orangnya shalat, ia shalat dengan khusuk, bila
mengingat Allah kulit dan hatinya tenang bila disebut nama Allah bergetar
hatinya bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mereka sujud dan
menangis.
Sifat – sifatnya manusia yang sempurna terdiri
dari : Keimanan, Ketaqwaan, Keadaba, Keilmuan, Kemahiran, Ketertiban, Kegigihan
dalam kebaikan dan kebenaran, Persaudaraan, Persepakatan dalam hidup, Perpaduan
dalam umah.
Untuk cara-cara mencapainya ialah dengan :
·
Ilmu taubat dengan syarat – syaratnya
menghindari dari yang menyebabkan nafsu dengan mengawalnya dengan
mendisiplinkan pergaulan dan harta serta mengambilkan yang halal dan
membelanjakan dalam perkara halal, kemudian disertai dengan berhemat.
·
Berjaga – jaga supaya amalan tidak binasa oleh
niat-niat yang merobohkannya seperti ria digantikan dengan ikhlas.
·
Keadaan tergesa-gesa digantikan dengan sabar.
·
Tidak cermat digantikan dengan sifat cermat
menyelamatkan diri daripada kelesuan.
·
Dengan mengamalkan sifat harap dan takut,
maksudnya harap bahwa Allah akan menerima amalan dan menyelamatkan kita, takut
kalau-kalau Allah tidak mengampuni kita dan menerima amalan kita.
·
Mengamalkan sifat puji dan syukur dalam hidup
terhadap Allah juga terhadap makhluk yang menjadi wasilah atau perantara
sampainya nikmat Allah kepada kita. Puji dan syukur itu dapat berupa rasa
gembira dan syukur terhadap nikmat Allah dan lidah mengucapkan kesyukuran,
al-hamdulillah, serta dengan melakukan perbuatan – perbuatan yang dirhidoi
Allah SWT.
Adapun beberapa ciri – ciri atau kriteria Insan
Kamil yang dapat kita lihat pada diri Rasulullah SAW yakni 4 sifat yakni :
§
Sifat amanah (dapat dipercaya)
Ialah dapat memegang apa yang dipercayakan
seseorang kepadanya walaupun hanya sesuatu yang kita anggap kurang berharga. Sifat amanah ini
dimiliki hanya orang – orang yang mengerti tentang kehidupan di masa sekarang
dan di masa yang akan datang, maksudnya ia telah menyadari bahwa kehidupan di
dunia ini hanya sementara dan kehidupan yang kekal dan abadi hanya di alam
akhirat dengan dasar itulah orang – orang yang memiliki sifat amanah dapat
menerapkannya di kehidupannya sehari – hari.
§
Sifat fathanah (cerdas)
Seseorang yang memiliki kepintaran di dalam
bidang fomal atau di sekolah belum tentu dia dapat cerdas dalam menjalani
kehidupannya, sebab bila kita lihat kenyataan di masyarakat bahwa banyak
sarjana yang telah menyelesaikan studinya hanya menjadi pengangguran yang tak
dapat mengembangkan semua pengetahuan yang didapatnya itu menunjukkan bahwa ia
bukanlah seseorang yang cerdas. Cerdas ialah sifat yang dapat membawa seseorang
dalam bergaul, bermasyarakat dan dalam menjalani kehidupannya untuk menuju yang
lebih, tapi sifat cerdas ini tidaklah dimiliki setiap orang. Walaupun ada hanya
sedikit orang yang memiliki kecerdasan, biasanya orang memiliki kecerdasan ini
adalah orang telah mengalami banyak pengalaman hidup yang dapat berguna di
dalam menjalani kehidupan.
§
Sifat siddiq (jujur)
Jujur adalah sebuah kata yang sangat sederhana
sekali dan sering kita jumpai, tapi sayangnya penerapannya sangat sulit sekali
di dalam bermasyarakat. Entah dikarenakan apa dan kenapa kita sebagai manusia
sangat sulit sekali untuk berlaku jujur baik jujur dalam perkataan dan
perbuatan. Sifat jujur sering sekali kita temui di dalam kehidupan sehari –
hari tapi tidak ada sifat jujur yang murni maksudnya ialah, sifat jujur
tersebut mempunyai tujuan lain seperti mangharapkan sesuatu dari seseorang
barulah kita bisa bersikap jujur.
§
Sifat Tabligh (menyampaikan)
Maksudnya tabligh disini ialah menyampaikan apa
yang seharusnya di dengar oleh orang lain dan berguna baginya. Tentunnya
sesuatu yang akan disampaikan itu pun haruslah sesuatu yang benar dan sesuai
dengan kenyataan.
C.
Insan Kamil dan Tanggung Jawab Sosial
Sebelumnya telah
dijelaskan bahwa insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paling
paripurna. Oleh karena apa-apa yang ada pada insan kamil tentunya sudah dapat
di jamin kesempurnaannya. Karena tidak mungkin manifestasi Tuhan bersifat tidak
sempurna, walaupun sebagaimana yang di katakan Muthahhari tingkat
kesempurnaan insan kamil sifatnya bertingkat-tingkat.
Sudah di akui bahwa
timgkatan insan kamil tertinggi ada pada Nabi Muhammad, baik kapasitasnya
sebagai al-haqiqah al-Muhammadiyah maupun sebagai utusan Allah untuk
umat manusia yang terbatas oleh ruang dan waktu.
Nabi Muhammad sebagai
insan kamil dalam kehidupannya di dunia merupakan suatu pribadi yang multi
dimensi. Nabi Muhammad di kenal sebagai seorang nabi yang ibadahnya luar biasa
kuat, sehingga kalau malam shalat sampai kakinya bengkak. Tapi di siang hari
beliau mengatur ekonomi, mengatur politik bahkan mengatur perang. Rasulullah
dan para sahabat di zaman Rasul sering digambarkan sebagai ruhbanun bi
al-lail wa fursanun di al-nahar, mereka itu rahib-rahib di waktu malam hari
dan ksatria-ksatria di siang.
Kesempurnaan Nabi Muhammad
di akui oleh dumia, tidak hanya dari satu kalangan saja. Karen Amstrong seorang
ilmuan barat mencoba meneliti agama Islam dengan meneliti tokoh utamanya, Nabi
Muhammad. Ketika melaporkan tentang beliau, ia menjadi seorang pambela yang luar
biasa. Karen mengatakan (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1997) menjelang tahun
622 tampak sudah seakan-akan kehendak Tuhan akan terjadi di Arabia. Berbeda
dengan nabi-nabi terdahulu Muhammad bukan saja mengajarkan laki-laki dan
perempuan tentang visi dan harapan baru, tetapi ia juga telah berusaha nemikul
tugas untuk memyelamatkan sejarah manusia dan menciptakan masyarakat yang adil,
yang memberikan peluang kepada setiap manusia laki-laki dan perempuan untuk
mengaktualisaikan potensinya yang sebenarnya. Dari sini tampak bagaimana peran
nabi dalam kehidupan sosialnya.
Gambaran lain dari potret
seorang insan kamil adalah Imam Ali bin Abi Thalib. Oleh Jalaluddin
Rakhmat (1999) digambarkan bahwa pada dirinya kita melihat sufi yang rela
hidup dalam kefakiran, tetapi pada saat yang sama membenci kefakiran. Dari
pribadinya sebagian orang akan beranggapan bahwa kemiskinan adalah kebajikan
dan kekayaan adalah kemaksiatan. Tetapi dari kepribadiannya pula sebagian yang
lain melihat kesungguhan untuk melenyapkan kemiskinan, dan meyakini bahwa
kemiskinan adalah musuh yang harus di musnahkan.
Dalam hal insan kamil ini Iqbal
tidak sepaham dengan konsep-konsep terdahulu. Menurutnya konsep-konsep
tersebut akan membunuh individualitas dan melemahkan khudi(jiwa). Iqbal
sepakat bahwa Nabi Muhammad adalah insan kamil, tetapi tanpa penafsiran secara
mistik. Insan kimil versi Iqbal tidak lai adalah sang mukmin yang di
dalamnya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan dan kebijaksanaan. Yang
merupakan makhluk moralis, yang di anugarahi kemamapuan rohani dan agamawi.
Untuk menumbuhkan kekuatan yang ada dalam dirinya, sang mukmin senantiasa
meresapi dan menghayati akhlak.
Menurut Iqbal
proses lahirnya insan kamil melalui tiga tahap yaitu: pertama, ketaatan
pada hukum. Kedua, penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran
diri tentang pribadi. Ketiga, kekhalifahan Ilahi.
Secara garis besar amal
saleh terbagi menjadi dua bagian. Pertama, amal saleh kepada Allah (hablun
min Allah) yang disebut juga ibadah mahdlah. Kedua, amal
saleh untuk sesama manusia (hablun min al-nas) yang disebut juga ibadah ghoiru
mahdlah. Dan yang menarik adalah bahwa hubungan kemanusiaan (muamalah)
sangat menetukan ibadah mahdlah. Bahkan disebutkan dalam sebuah hadits
yang menunjukkan bahwa manusia yang baik adalah manusia yang membawa
kemaslahatan kepada umat manusia.
D.
Proses
Munculnya Insan Kamil
Munculnya insan kamil dapat ditelusuri melalui
dua sisi. Pertama melalui tahap-tahap tajalli Tuhan pada alam sampai
munculnya insan kamil. Kedua melalui maqamat (peringkat-peringkat
kerohanian) yang dicapai oleh seseorang sampai pada kesadaran tertinggi yang
terdapat pada insan kamil.
Tajalli Tuhan – dalam pandangan Ibn Arabi – mengambil
dua bentuk: pertama tajalli gaib atau tajalli
żāti yang berbentuk penciptaan potensi, dan kedua tajalli
syuhūdi (penampakan diri secara nyata), yang mengambil bentuk
pertama, secara intrinsik hanya terjadi di dalam esensi Tuhan tersendiri. Oleh
karena itu, wujudnya tidak berbeda dengan esensi Tuhan itu sendiri karena ia
tidak lebih dari suatu proses ilmu Tuhan di dalam esensi-Nya sendiri, sedangkan
tajalli dalam
bentuk kedua ialah ketika potensi-potensi yang ada di dalam esensi mengambil
bentuk aktual dalam berbagai fenomena alam semesta.
Tajalli tidak hanya berhenti pada satu bentuk saja, namun
berkembang menjadi beberapa bentuk. Yang mana merupakan suatu bentuk peralihan
dari sesuatu yang potensial kepada yang actual dan ini terjadi secara abadi,
karena tajalli ilahi tidak pernah berhenti pada suatu batas
perhentian. Tujuannya ialah agar Tuhan dapat dikenal lewat
nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam semesta. Akan tetapi alam semesta ini
berada dalam wujud yang terpecah-pecah, sehingga tidak dapat menampung citra
Tuhan secara utuh, hanya pada manusia citra Tuhan dapat tergambar secara
sempurna, yaitu pada insan kamil. Martabat insan kamil ini baru dapat dicapai
setelah melalui beberapa maqâm (tingkat-tingkat kerohanian,
jamaknya: maqāmāt).
Dalam perjalanan melalui tingkat-tingkat kerohanian itu sufi akan mengalami
beberapa keadaan batin.
Maqāmāt adalah tahap-tahap perjalanan spiritual yang
dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada
hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk
melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia yang dipandang berhala terbesar dan
karena itu kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya
dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan
tahun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Sedangkan “ahwāl”
sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Di antara ahwāl
yang sering disebut adalah takut, syukur, rendah hati, takwa, ikhlas, gembira.
Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun kebanyakan mereka
mengatakan bahwa ahwāl dialami secara spontan,
berlangsung sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan
keras seperti halnya maqāmāt, melainkan sebagai hadiah
berupa kilatan-kilatan ilahi (Divine Flashes), yang biasa disebut
“lama’at.”
قال بروى
احمد طبانه فى مقدمة احياء علوم الدين للغزالى : (ربع المنجيات) فى ابواب الخوف والرجاء والصبر والشكر
والفقر والزهد والتوحيد والتوكل والمحبة والشوق والانس والرضا
Barwa
Ahmad Tabanah berkata dalam Muqadimah Ihyā’ Ulumudin karya al-Ghazali:
“Seperempat bagian yang menyelamatkan (maqāmāt) dalam bab khauf (takut), rajā’
(berharap), sabar, syukur, kefakiran, zuhud, tauhid, tawakal, cinta, rindu,
mesra, dan rida.
Setelah
menempuh segala maqām sampailah sufi kepada keadaan
fanā’
dan baqā’. Dalam keadaan demikian, insan kembali kepada wujud
asalnya, yakni wujud mutlak. Fanā’ adalah sirnanya kesadaran
manusia terhadap segala alam fenomena, dan bahkan terhadap nama-nama dan
sifat-sifat Tuhan (fanā’ ‘an sifāt al-haqq), sehingga
yang betul-betul ada secara hakiki dan abadi (baqā’) di dalam kesadarannya ialah
wujud mutlak. Untuk sampai kepada keadaan demikian, sufi secara gradual, harus
menempuh enam tingkat fanā’ yang mendahuluinya, yaitu:
1.
Fanā’
‘an al-Mukhālafāt (sirna dari segala dosa). Pada tahap ini sufi
memandang bahwa semua tindakan yang bertentangan dengan kaidah moral sebenarnya
berasal dari Tuhan juga. Jika seseorang masih memandang tindakannya sebagai
miliknya yang hakiki, ini menandakan ia masih berada pada hadrah
az-zulmah al-mahd (hadirat kegelapan murni).
2.
Fanā’
‘an af’āl al-‘ibād (sirna dari tindakan-tindakan hamba). Pada tahap
sufi menyadari bahwa segala tindakan manusia pada hakikatnya dikendalikan oleh
Tuhan dari balik tabir alam semesta. Dengan demikian sufi menyadari adanya
“satu agen mutlak” dalam alam ini, yakni Tuhan.
3.
Fanā’
‘an sifāt al-makhlūqīn (sirna dari sifat-sifat makhluk). Pada tahap
ini sufi menyadari bahwa segala atribut dan kualitas wujud mumkin
(contingent) tidak lain adalah milik Allah. Dengan demikian, sufi
menghayati segala sesuatu dengan kesadaran ketuhanan, ia melihat dengan
penglihatan Tuhan, mendengar dengan pendengaran Tuhan, dan seterusnya.
4.
Fanā’
‘an kull az-zāt (sirna dari personalitas diri). Pada tahap ini sufi
menyadari non-eksistensi dirinya, sehingga yang benar-benar ada di balik
dirinya ialah zat yang tidak bisa sirna selama-lamanya.
5.
Fanā’
‘an kull al-‘alam (sirna dari segenap alam). Pada tahap ini sufi
menyadari bahwa segenap aspek alam fenomenal ini pada hakikatnya hanya khayal,
yang benar-benar ada hanya realitas yang mendasari fenomena.
6.
Fanā’
‘an kull mā siwā ‘l-lāh (sirna dari segala sesuatu yang selain
Allah). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa zat yang betul-betul ada hanya zat
Allah.
Ketika sufi mencapai fanā’
tahap keenam ia menyadari bahwa yang benar-benar ada adalah wujud mutlak yang mujarrad
dari segenap kualitas nama dan sifat seperti permulaan keberadaan-Nya. Inilah
perjalanan panjang sufi menuju ke asal. Kesadaran puncak mistis seperti inilah
yang dicapai insan kamil.