Posted by : Unknown
Sabtu, 10 Mei 2014
Pengertian Riba
Secara
bahasa Riba berarti tambahan. Dalam
istilah hukum Islam, Riba berarti tambahan baik berupa tunai, benda maupun jasa
yang diharuskan pihak peminjam untuk membayar selain jumlah uang yang
dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan
uang pinjaman itu. Riba semacam ini disebut dengan Riba Nasiah.[1]
Menurut
Satria Efendi, “Riba Nasiah adalah tambahan pembayaran atas jumlah modal yang
disyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh sipeminjam kepada yang
meminjam tanpa resiko sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran yang
diberikan kepada sipeminjam. Riba Nasiah ini terjadi dalam utang piutang, oleh
karena itu disebut juga dengan Riba Duyun
dan disebut juga dengan Riba Jahiliyah,
sebab masyarakat arab sebelum Islam telah dikenal melakukan sesuatu kebiasaan
membebankan tambahan pembayaran atau semua jenis pinjaman yang dikenal dengan
sebutan Riba. Juga disebut dengan Riba
Jali atau Qat’i, sebab jelas dan pasti diharamkannya oleh Al-Qur’an.
Praktik Riba Nasiah ini karena dipraktekan oleh kaum Thaqif yang biasa
meminjamkan uang kepada Bani Mughirah setelah waktu pembayaran tiba, kaum
Mughirah berjanji akan membayar lebih banyak apabila mereka diberi tenggang
waktu pembayaran.[2]
الذين يأكلون الربا لا يقومون
إلا كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس ذلك بأنهم قالوا إنما البيع مثل الربا و
أحل الله البيع و حرم الربا (البقرة
:275)
Artinya
:
Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan yang lantaran penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalahdisebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
(Al-Baqarah:275).
Uraian
di atas memberikan kejelasan bahwa riba nasiah mengandung tiga unsur :
1. Adanya tambahan pembayaran atau modal yang
dipinjamkan.
2. Tambahan itu tanpa resiko kecuali sebagai imbalan dari
tenggang waktu yang diperoleh si peminjam.
3. Tambahan itu disyaratkan dalam pemberian piutang dan
tenggang waktu.
Tambahan dalam membayar utang oleh orang yang berutang
ketika membayar dan tanpa ada syarat sebelumnya. Hal itu dibolehkan,
bahkan dianggap perbuatan ihsan (baik) dan Rasulullah pernah melakukannnya.
Dimana beliau pernah berhutang kepada seseorang seekor hewan. Kemudian beliau
bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya daripada hewan yang beliau hutangi
itu[3].
Kemudian beliau bersabda :
فإن من خيركم أحسنكم قضاء (متفق عليه)
Artinya :
Sesungguhnya
sebaik-baiknya kamu adalah orang yang paling baik dalam membayar hutangnya.(H.R
Bukhori-Muslim).
Untuk membedakan man tambahan yang termasuk riba ata
tindakan terpuji. Para Fuqaha menjelaskan,
tambahan pembayaran hutang yang termasuk riba jika hal itu disyaratkan pada waktu akad. Artinya
seseorang mau memberikan hutang dengan syarat ada tambahan dalam
pengembaliannya. Ini adalah tindakan yang tercela karena ada kezholiman dan
pemerasan. Adapun tambahan yang terpuji itu tidak di janjikan pada waktu akad.
Tambahan itu diberiakn oleh orang yang berutang ketika ia membayar yang
sifatnya tidak mengikat hanya sebagai tanda terima kasih kepada orang yang
tealh memberikan hutang kepadanya.[4]
Jenis
kedua adalah yang disebut Riba Fadhal. Menurut
Ibnu Qoyyum, Riba Fadhal ialah riba yang kedudukannya sebagi penunjang
diharamkannya Riba Nasiah. Dengan
kata lain bahwa riba fadhal diharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba
nasiah yang sudah jelas keharamannya. Maka Rasul melarang menjual emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, kecuali
dengan sama banyak dan secara tunai. Barangsiapa
yang menambah atau meminta tambah, masuklah ia pada riba. Yang mengambil dan
memberi sama hukumnya (H.R Bukhori).
Dari
pengertian diatas para Fuqaha
menyimpulkan bahwa riba fadhal adalah kelebihan yang terdapat dalam
tukar-menukar antara benda-benda sejenis seperti emas, perak dengan perak.
Apakah bunga bank benar-benar telah
diharamkan dalam Islam? pertanyaan ini sering kali terulang dalam masyarakat
yang memiliki leluhur sosial yang berbeda. Banyak masyarakat beragumen bahwa
riba yang telah diharamkan oleh Islam di dalam Al-Qur’an dan Hadits, tidaklah
identik dengan bunga bank. Dalam arti, bunga bank bukanlah bagian dari riba
yang telah diharamkan oleh Islam.[5]
Tidak diragukan lagi, bahwa yang diharamkan di dalam
Al-Qur’an dan Hadits adalah riba. Al-Qur’an telah mengharamkan riba dalam 4
ayat yang berbeda, dimana ayat yan pertama (30:39) diturunkan di Mekkah dan
ayat 3 lainnya di turnkan di Madinah (4:161, 3:130-2, dan 2:275-81). Pada tahap
pertama, Al-Qur’an menolak anggapan bahwa riba yang memerlukan, sebagai suatu
perbuatan untuk mendekatkan diri atau bertaqarub kepada Allah. Allah SWT
berfirman : “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”. (Ar-Rum:39).
Tahap
kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam akan
memberikan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Allah SWT
berfirman: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya,
dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.(An-Nisa’
: 160-161).[6]
Tahap
ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat
ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang
cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut.
Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”.(Ali-Imron:130).
Tahap
terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil
dari pinjaman. Allah berfirman: “Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)jika kamu orang-orang yang
berima. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan, jika kam bertobat
(dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan
tidak pula dianiaya”. (Al-Baqarah:278-79).[7]
Ayat ini diturunkan menjelang wafatnya Rasulullah SAW dan sekaligus sebagai
ayat pamungkas yang diturunkan terkait riba.
Secara jelas Rasulullah telah melarang riba dengan kata-kata
yang tidak ambigu (menimbulkan multitafsir). Rasulullah SAW tidak hanya memberikan
larangan bagi orang yang mengambil riba saja, akan tetapi juga memberikan
laknat kepada orang yang memberikan tambahan (riba), orang yang melakukan pencatatan
transaksi ribawi, serta orang yang menjadi saksi dalam transaksi tersebut.
Lebih lanjut, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa orang yang sengaja mengambil
riba itu identik atau sama dengan orang yang melakukan perzinahan sebanyak 36
kali, atau setara dengan melakukan perzinahan dengan ibu kandungnya.[8]
Dewasa ini, banyak sekali keputusan ulama dalam
konferensi internasional yang mendiskusikan permasalahan riba. Diantarannya
adalah muktamar fiqh yang diselenggarakan di Paris pada 1951 dan di Kairo tahun
1965, begitu juga muktamar Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Rabithoh
Fiqh Committe yang di adakan di Kairo dan tahun 1986 di Mekkah.[9]
Namun demikian, hal ini masih menyisakan pertanyaan,
hal apakah yang masih membuat masyarakat bingung untuk memahami makna riba ?.
Alasannya mungkin karena syariah menggunakan kata riba dalam dua hal yang
berbeda, yakni Riba Annasiah dan Riba Al-Fadl, dan masyarakat merasakan
kesulitan untuk memahami arti implikasi dari keduanya.
Riba al-Nasiah
Kata
Nasiah berasal dari kata dasar (fi’il madli) nasa’a yang bermakna menunda, menangguhkan, menunggu, atau merujuk pada
tambahan waktu yang diberikan kepada peminjam untuk membayar kembali
peminjamannya dengan memberikan tambahan atau nilai lebih. Dengan demikian, bisa
dikatakan bahwa riba nasiah itu sama identiknya dengan bunga atas pinjaman.
Esensi
dari pelarangan riba nasiah memberikan impliksi pemahaman, bahwa setiap
penentuan tingkat return positif atas peminjaman di awal transaksi sebagai
kompensasi atas jangka waktu, adalah tidak diperbolehkan menurut syara’.[10]
Dengan
demikian secara absolut tidak terdapat perbedeaan opini diantara ulama muslim,
bahwa makna riba an nasiah berkonotasi makna bunga (interest), dan dalam Islam
hukumnya adalah dilarang (haram). Pelarangan tersebut bersifat tegas, absolut,
dan tidak ambigu.
Riba Al-Fadl
Walaupun Islam telah melarang riba (bunga) atas pinjaman
dan memperbolehkan praktik perniagaan (jual-beli), bukan berarti semua praktik
perniagaan diperbolehkan. Dengan alasan, bahwa Islam tidak hanya ingin
menghilangkan unsur ketidakadilan yang secara instrinsik melekat dalam lembaga
keuangan ribawi, namun juga segala bentuk ketidakjujuran ataupun ketidakadilan
yang melekat pada transaksi bisnis. Nilai tambah yang diterima oleh salah satu
pihak dalam perniagaan tanpa adanya nilai pembenar, dinamakan dengan riba
al-fadl. Ibnu Arabi memberikan definisi riba al-fadl dengan semua tambahan yang melebihi nilai bagi
pihak lain tanpa adannya nilai pembenar atas tambahan tersebut.
Hikmah Keharaman Riba
Menurut Yusuf Qardhawi, para ulama telah menyebutkan
panjang lebar hikmah diharamkannya riba secara rasional, antara lain :
1. Riba
berarti mengambil harta orang lain tanpa hak.
2. Riba
dapat melemahkan kreativitas manusia untuk berusaha atau bekerja, sehingga
manusia melalaikan perdagangannya, perusahaannya. Hal ini akan memutuskan
kreativitas hidup manusia di dunia. Hidup bergantung kepada riba yang
diperolehnya tanpa usaha. Hal ini merusak tatanan ekonomi.
3. Riba
menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam utang piutang. Keharaman riba
membuat jiwa manusia menjadi suci dari sifat lintah darat. Hal ini mengandung
pesan moral yang sangat tinggi.
4. Biasanya
orang memberi hutang adalah orang yang kaya dan orang yang berhutang adalah
orang miskin. Mengambil kelebihan hutang dari orang miskin sangat bertentangan
dengan sifat Allah.[11]
Hukum bunga bank
Hukum bunga bank tergolong masalah ijtihad. Oleh
karena itu, terdapat beberapa pendapat tentang hukum bunga bank dengan
argumentasi masing-masing. Pertama, kelompok muharrimun (yang menhukumi haram
secara mutlak), kedua kelompok yang mengharamkan jika bersifat konsumtif jika
produktif boleh. Ketiga muhallilun (yang menhalalkan) dan keempat kelompok yang
memnganggap syubhat (belom pasti keharamannya dan kehalalannya).[12]
[1]
Prof.DR.H.ABDUL RAHMAN GHAZALY,M.A,DRS.H. GHUFRON IHSAN, M.A, DRS. SAPIUDIN
SHIDIQ,M.A. FIQH MUAMALAT,(jakarta:Kencana
Prenada Media Group,2010),hlm.218
[2]SATRIA
EFENDI, Riba Dalam Pandangan Fiqh, (jakarta:Hikmah
Syahid Indah,1988),hlm.147
[3]Opcit,Prof.DR.H.ABDUL RAHMAN GHAZALY,M.A
hlm.219
[4]Ibid,hlm.219
[5] DIMYATI
DJUWAINI, Pengantar fiqh muamalat,(yogyakarta: pustaka pelajar,2008)
hlm: 189
[6] Ibid,
hlm : 190
[7] Lihat
juga dalam Al-Baqarah ayat 280-81
[8] Opcit
DIMYATI DJUWAINI, hlm : 191
[9] Ibid,
hlm : 194
[10]Ibid,
hlm : 195
[11] YUSUF
QARDHAWI, al-halal wa haram (Beirut:
Maktabah Al-Islamy,1994), hlm 242-243
[12]
Prof.DR.H.ABDUL RAHMAN GHAZALY,M.A,DRS.H. GHUFRON IHSAN, M.A, DRS. SAPIUDIN
SHIDIQ,M.A. FIQH MUAMALAT,(jakarta:Kencana
Prenada Media Group,2010),hlm 230