Posted by : Unknown
Sabtu, 10 Mei 2014
1.
Pengertian Fiqh Mu’amalah
·
Menurut bahasa Mu’amalah berasal dari kata عامل يعامل معاملة yang artinya saling bertindak, saling
berbuat, dan saling mengamalkan.
·
Menurut istilah dibagi menjadi dua, yakni secara sempit dan secara
luas. Definisi muamalah dalam arti luas yakni :
a.
Al Dimyati berpendapat bahwa muamalah adalah التّحصيل الدّنيوي ليكون سببا للأخر “Menghasilkan duniawi, supaya menjadi sebab
suksesnya masalah ukhrawi.”[1]
b.
Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan –
peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk
menjaga kepentingan manusia.[2]
c.
Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk
mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.[3]
Definisi muamalah
dalam arti sempit [khas] oleh para ulama adalah :
a.
Menurut Hudlari Byk.
“Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar
manfaatnya.”
b.
Menurut Idris Ahmad[4]
, Muamalah adalah aturan – aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia
dalam usahanya untuk mendapatkan alat- alat keperluan jasmaninya dengan cara
yang paling baik.
c.
Menurut Rasyid Ridha, Muamalah adalah tukar-menukar barang
atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara
cara yang telah ditentukan.
d.
Menurut Musthofa Ahmad al- Zarqa, fiqih muamalah adalah “Hukum-
hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan sesama manusia dalam
urusan kebendaan, hak- hak kebendaan serta penyelesaian perselisihan”.[5]
Jadi pengertian
Fiqih muamalah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan manusia dalam
persoalan keduniaan, misalnya dalam persoalan jual beli, hutang piutang, kerja
sama dagang, perserikatan, kerja sama dalam penggarapan tanah, dan sewa
menyewa.
2.
Pembagian Muamalah
Al-Fikri
dalam kitabnya, “Al- Muamalah al-Madiyah wa al-Adabiyah”, menyatakan
bahwa muamalah dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut[6]:
1.
Al-Muamalah al-madiyah adalah muamalah yang mengkaji objeknya sehingga sebagian ulama
berpendapat bahwa muamalah al-madiyah adalah muamalah bersifat kebendaan
karena objek fiqh muamalh adalah benda yang halal, haram dan syubhat untuk
diperjualbelikan, benda-benda yang memadaratkan dan benda yang mendatangkan
kemaslahatan bagi manusia, serta segi-segi yang lainnya.
2.
Al-Mu’amalah al-adabiyah ialah muamalah yang ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda
yang bersumber dari panca indra manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak
dan kewajiban kewajiban, misalnya jujur, hasud, dengki, dendam.
Muamalah
madiyah yang dimaksud al Fikri ialah aturan-aturan yang ditinjau dari
segi objeknya. Oleh karena itu, jual beli benda bagi Muslim bukan hanya sekedar
mamperoleh untung yang sebesar besarnya, tetapi secara vertikal bertujuan untuk
memperoleh ridha Allah dan secara horizontal bertujuan untuk memperoleh
keuntungan sehingga benda-benda yang diperjualbelikan akan senantiasa
dirujukkan kepada aturan aturan Allah Benda-benda yang haram diperjualbelikan
menurut syara’ tidak akan diperjualbelikan, karena tujuan jual beli bukan
semata ingin memperoleh keuntungan, tetapi juga ridha Allah.
Muamalah
al-adabiyah ialah aturan-aturan Allah yang wajib diikuti dlihat dari
segi subjeknya.Muamalah Adabiyah ini berkisar pada keridhaan kedua belah
pihak, ijab kabul, dusta, menipu, dan yang lainnya.
Pembagian
muamalah di atas dilakukan atas dasar kepentingan teoretis semata. Sebab dalam
praktiknya, kedua bagian muamalah tersebut tidak dapat dipisahkan.
3. Ruang
Lingkup Fiqih Muamalah
Sesuai
dengan pembagian fiqih muamalah menurut Al- Fikri maka ruang lingkupnya juga terbagi
dua, yaitu ruang lingkup muamalah madiyah dan adabiyah.
Ruang
lingkup muamalah madiyah ialah masalah jual beli ( al-ba’I al-tijarah), gadai
(al-rahn), jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman), pemindahan utang
(Al-hiwalah), jatuh bangkrut (taflis), batasan bertindak (al- hajru), perseroan
atau perkongsian (al-syirkah), perseroan harta tenaga (al- mudhorobah), sewa
menyewa (al-ijarah), pinjam- meminjam (al- ‘ariyah), barang titipan (al- wadlit’ah),
barang temuan (al- luqathah), garapan tanah (al- mujara’ah) sewa- menyewa tanah
(al- mukhabarah), upah (ujrah al-amal), gugatan (al-syuf’ah), sayembara (al-ji’alah),
pembagian kekayaan bersama (al-qismah), pemberian (al-hibah), pembebasan
(al-ibra’) damai (as-shulhu), dan di tambah dengan beberapa masalah kontemporer
(al-mu’asirah/ al muhadisah), seperti masalah bunga bank, dan asuransi kredit.
Sedangkan
ruang lingkup muamalah yang bersifat adabiyah ialah ijab qobul, saling
meridhoi, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban,
kejujuran, pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang
bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam
hidup bermasyarakat.[7]
Husein Shahhathah (Al-Ustaz Universitas Al-Azhar Cairo) dalam
buku Al-Iltizam bi Dhawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat Maliyah (2002)
mengatakan, “Fiqh muamalah ekonomi, menduduki posisi yang sangat penting dalam
Islam. Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena
itu hukum mempelajarinya wajib ‘ain (fardhu) bagi setiap muslim.
Husein Shahhatah, selanjutnya menulis, “Dalam bidang muamalah
maliyah ini, seorang muslim ber-kewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah
sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah
maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat,
tanpa ia sadari. Seorang muslim yang bertaqwa dan takut kepada Allah SWT harus
berupaya keras menjadikan muamalahnya sebagai amal shaleh dan ikhlas untuk
Allah semata”.
Memahami/mengetahui hukum muamalah maliyah wajib bagi setiap
muslim, namun untuk menjadi expert (ahli) dalam bidang ini hukumnya fardhu
kifayah. Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan
berkata :
“Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah me-ngerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam” (H.R.Tarmizi). Berdasarkan ucapan Umar tersebut, maka dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa umat Islam tidak boleh beraktifitas bisnis, tidak boleh berdagang, tidak boleh beraktivitas per-bankan, tidak boleh beraktifitas asuransi, tidak boleh beraktifitas pasar modal, Tidak boleh beraktifitas koperasi, tidak boleh beraktifitas pegadaian, tidak boleh beraktifitas reksadana, tidak boleh beraktifitas bisnis MLM, tidak boleh beraktifitas jual-beli, tidak boleh bergiatan ekonomi apapun, kecuali faham fiqh muamalah.
Sehubungan dengan itulah Dr.Abdul Sattar menyimpulkan Muamalat adalah inti terdalam dari tujuan agama Islam untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
“Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah me-ngerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam” (H.R.Tarmizi). Berdasarkan ucapan Umar tersebut, maka dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa umat Islam tidak boleh beraktifitas bisnis, tidak boleh berdagang, tidak boleh beraktivitas per-bankan, tidak boleh beraktifitas asuransi, tidak boleh beraktifitas pasar modal, Tidak boleh beraktifitas koperasi, tidak boleh beraktifitas pegadaian, tidak boleh beraktifitas reksadana, tidak boleh beraktifitas bisnis MLM, tidak boleh beraktifitas jual-beli, tidak boleh bergiatan ekonomi apapun, kecuali faham fiqh muamalah.
Sehubungan dengan itulah Dr.Abdul Sattar menyimpulkan Muamalat adalah inti terdalam dari tujuan agama Islam untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Dalam konteks
ini Allah berfirman :‘Dan kepada penduduk Madyan, Kami utus saudara mereka,
Syu’aib. Ia berkata, “Hai Kaumku sembahlah Allah, sekali-kali Tiada Tuhan
bagimu selain Dia. Dan Janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan.
Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik. Sesungguhnya aku
khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)”.
Dan Syu’aib
berkata,”Hai kaumku sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Janganlah
kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat
kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (Hud : 84,85).
[2] Lihat Abdul Madjid, Pokok- pokok Fiqih
Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam, IAIN Sunan Gunung Jati, Bandung,
1986 hlm. 1.
[3] ibid
[4] Lihat Fiqih al- Syafi’iyah, Karya
Indah, Jakarta,1986, hlm. 1.
[5] Lihat Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah
Konstektual, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 2.